Jumat, 18 November 2011

Membangkitkan (Kembali) Semangat Nasionalisme Kita



 Oleh Dedy Gunawan Hutajulu

Mengapa sebagian besar pemuda sekarang, khususnya para sarjana kerap memilih pekerjaan hanya didasari ambisi meningkatkan taraf hidup dan alasan minat dan bakat. Hanya sedikit yang mau memenuhi panggilan Tuhan—tanpa mengabaikan minat dan bakat serta kebutuhan. Sisanya enggan bekerja ‘atas nama’ Indonesia. Pemberantasan korupsi, mentalitas pegawai murahan, ketiadaan visi para pemimpin, rendahnya moralitas DPR, kemiskinan struktural, kita akui, rentan mengoyak nasionalisme generasi sekarang. Harapan, efektivitas, visi, dan kepemimpinan yang visioner adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk membangun nasionalisme bangsa ini.

 
“Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas kemerdekaan Indonesia”. Sengaja saya kutip pendapat Soe Hoek Gie[1] ini karena mengingat dan mencermati perkembangan nasionalisme generasi sekarang. Dari kutipan ini, pikiran saya mulai bertanya-tanya: “Apakah saya dan sekian juta anak muda saat ini masih memiliki rasa cinta terhadap Indonesia tercinta ini?”

Mengejar Uang
Berbekal pertanyaan sederhana ini, sayapun bertanya-tanya kesan kemari, kepada beberapa teman saya (para alumnus perguruan tinggi). Pertanyaan saya seputar kesiapan kerja mereka kelak sesuai jurusan dan kompetensi mereka. Saya menemukan aneka rupa jawaban, mulai dari yang benci kerja di desa, sampai yang hanya puas jadi kuli. Padahal, punya gelar sarjana. Melalui internet saya juga tahu, bahwa rasio jumlah sarjana pertanian yang bekerja di sektor perbankan lebih banyak ketimbang yang terjun ke desa-desa. Beberapa alumnus keperawatan punya pendapat senada, lebih tertarik bekerja di kota dari dan tak siap ditempatkan di desa terpencil, selain alasan meningkatkat taraf hidup. Mereka enggan menghadapi ketidakpastian hidup di daerah terpencil.
Sebelas-dua belas sarjana kimia yang cukup puas hanya bekerja di pabrik sabun dan kosmetik. Yang lain, merasa berbahagia bekerja di perusahaan Telkom, lagi-lagi alasannya demi uang. Yang lebih geger lagi, hampir semua teman saya alumnus ilmu pendidikan dari salah satu kampus di Medan, sangat terobsesi dan berambisi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dengan dalih gajinya lumayan, alasan kesejahteraan dan jaminan hari tua, walau kerjanya ‘biasa-biasa’ saja.
Saya setuju-setuju saya, jika banyak orang berminat menjadi PNS alias abdi negara. Dengan catatan, mereka tulus dan berani menantang diri untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Mereka yang mau membawa perubahan, harus sudah matang dan tak boleh anut ubyung. Langkah yang cukup berani, memasuki sistem yang notabene benar-benar kotor. Maka bagi saya, pilihan menjadi PNS amat mulia. Ironisnya, tidak demikian yang terjadi dibenak banyak pihak, apalagi anak muda sekarang. Tentulah ini patut dicemasi bukan?
Lebih menjengkelkan lagi, ada orang tua yang tak sudi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, bukan karena ketiadaan uang, tetapi berpikir bahwa setamat SMA anaknya bisa segera melamar PNS. Si orang tua itu sudah menyiapkan uang puluh jutaan rupiah demi mendapatkan kursi PNS untuk anaknya itu. Inikan konyol. Padahal, dengan uang sebanyak itu, sudah bisa membiayai anaknya kuliah sampai profesor. Akhirnya, pemeo: “Apa yang dicari orang? Uang !”, kebenarannya semakin nyata.
Lantas apa yang salah? Dari kacamata mulianya sebuah profesi, tentu tidak ada yang salah dengan pilihan mereka itu. Namun, jika dipandang dari kacamata Bapak Samuel Tumanggor[2], tentulah kita mulai merenung dan bertanya, dimana saya berdiri? Beliau mengatakan, bahwa kita harus bekerja demi Indonesia. Jadi, pertanyaan yang lebih pas mungkin seperti ini: ”Apakah saya akan sama dengan kebanyakan orang saat ini, bekerja hanya demi rupiah?”

Alasan Alih profesi
Ada beberapa alasan mengapa seseorang beralih profesi, diantaranya, ingin meningkatkan taraf hidupnya, alasan minat dan bakat, dan ingin memenuhi panggilan Tuhan. Poin ketiga, inilah yang bapak Samuel Tumanggor maksud dengan bekerja demi Allah dan demi Indonesia. Saya tak habis pikir, mengapa sebagian besar pemuda sekarang, khususnya para sarjana kerap memilih pekerjaan hanya didasari ambisi meningkatkan taraf hidup dan alasan minat dan bakat. Hanya sedikit yang mau memenuhi panggilan Tuhan—tanpa mengabaikan minat dan bakat serta kebutuhan. Sisanya enggan bekerja ‘atas nama’ Indonesia.
Refleksi 65 tahun kita sudah merdeka, jarang kita temukan kaum muda mau berkarya demi Indonesia. Tak banyak guru yang semangat mengajar di sekolah, berangkat pagi-pagi dengan mengatakan :”Ini demi pendidikan, demi Indonesia!”. Kalau kita telisik tubuh birokrasi kita, kita akan melihat birokrasi yang kian gemuk, sehingga sulit bekerja melayani masyarakat. Jamak kita temukan para birokrat bersantai di kursi malas, baca koran sambil minum kopi pada jam-jam kerja, meski memang tidak seluruhnya demikian, sebab ada saja birokrat yang sejati, yang setia mengabdikan hidupnya bagi negeri ini dengan sepenuh hati.
Tapi, fakta menunjukkan bahwa demokrasi kita kian murung, sulit menemukan seorang birokrat sejati yang setia membawa visi dan integritasnya, serta yang tak kenal kompromi ditengah iklim yang penuh dikotomi. Setiap ruang pelayanan publik terasa sepi pelayan yang mau menghambakan diri. Pemimpin yang melayani dan pelayan yang memimpin (yang semestinya) masih jauh dari apa yang kita harapkan.  
Di sisi lain, tak sedikit mahasiswa berpikir kuliah, memilih jurusan yang layak jual, yang banyak diminta pasar, berpikir cepat tamat, cepat kerja dan karier menanjak. Lalu, kawin dengan istri cantik, misipun berakhir. Ini tentu mimpi yang amat dangkal. Padahal, di tangan pemuda, kususnya mahasiswa yang inteleklah masa depan bangsa ini digantungkan.

Mentalitas Gayus
Cerita konyol ini belumlah tamat. Ada kisah nyata yang lebih seru lagi, tentang nasionalisme. Yaitu soal Gayus H.P Tambunan, mantan pegawai ditjen pajak golongan IIIA (kita sebut saja dengan Gayus T). Anda pasti kenal siapa dia. Sosok yang fenomenal karena begitu kontroversial. Banyak misteri yang muncul begitu namanya tertangkap media sebagai tawanan ‘korupsi’. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali menjadi kontroversi. Mulai dari penyuapan, pencucian uang, memalsukan surat sampai ’bebas’ keluar masuk penjara.
Kita masih ingat kontroversi soal ‘kunjungan’ Gayus T ke Bali. Kontroversi terkuak setelah Gayus T mengaku bahwa foto “mirip” dirinya itu, adalah benar-benar dirinya. Pengakuan tersebut terlontar dari mulut Gayus T secara langsung dalam persidangan terhadap dirinya di pengadilan Negeri Jakarta Selatan (15/11). Ia mengaku bahwa ia ke Bali menyaksikan pertandingan tennis di Nusa Dua. Padahal, sebelumnya, Gayus T tetap bersikukuh menyangkalnya (kompas, 16/11).
Karena santernya kasus Gayus T, maka “pengakuan Gayus T” menjadi ‘buah bibir’ banyak orang. Tak pelak, berita itupun memenuhi halaman utama di berbagai media.   Berawal dari ketidaksengajaan, berujung jadi kehebohan. Berkat dua orang photographer kompas, yang menjepret pertandingan tennis, tapi, sebuah foto bergambar seorang penonton “mirip Gayus T” terasa janggal bila ada dipertandingan tersebut, sebab Gayus jelas-jelas berstatus tahanan. Tambahan lagi ternyata gayus bukan maniak bulu tangkis. Lantas, ngapain dia ke sana?
Namun, yang mau kita persoalkan bukan soal foto tersebut, tetapi soal efek dari misteri foto “mirip Gayus T” itu yang begitu santer, yakni menggambarkan mentalitas bangsa. Mentalitas yang begitu bobrok. Sudah kelewat batas !
Wajar saja banyak masyarakat bertanya-tanya: Mengapa seorang tahanan terdakwa kasus korupsi, bisa melenggang ke pertandingan tennis? Bagaimana mungkin seorang Gayus T, pegawai pajak golongan bawah, yang dipenjara di rutan, yang katanya begitu ‘ketat’ penjagaannya, tetapi bisa keluar-masuk bui bahkan sampai 68 kali. Bukankah ini aneh? Apakah Gayus T menyogok penjaga? Apakah penjaga begitu mudah disogok? atau Gayus T sengaja mengancam petinggi polisi agar diberi kebebasan dan jika dia tak diberi izin akan membukakan siapa-siapa saja yang tersandung dengan dia? Ketiga pertanyaan ini kerap menghiasi benak kita semua.
Tapi, yang lebih aneh menurut hemat saya, mengapa begitu mudahnya kita menuding habis-habisan, mengecam sekeras-kerasnya, bahkan sampai menghakimi Gayus T ? Sehingga tanpa kita sadari, kita lupa bahwa masih banyak koruptor yang sesungguhnya lebih parah dari Gayus T, tapi tidak kita pikirkan dan tidak kita kecam.
Beberapa nama terdakwa yang terkait praktek mafia pajak sesuai data yang dilansir Litbang Kompas (kompas, 13/11), antara lain: Maruli Pandapotan Manurung (Mantan rekan Gayus T di ditjen Pajak, terdakwa terkait penanganan keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal, oleh PN Jakarta Selatan, 19/10/2010), Humala Napitupulu (Mantan rekan Gayus, terdakwa kasus yang sama dengan Maruli manurung, di sidangkan di PN Jakarta Selatan pada 27/10/2010 ).
Beberapa nama mafia hukum lainnya, seperti Alif Kuncoro (pengusaha, didakwa menyuap penyidik Polri dan sudah divonis 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan,20/9/2010), Komisaris Arafat Enanie (penyidik Polri, didakwa menerima suap,  divonis 5 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 20/9/2010), Ajun Komisaris Sri Sumartini (penyidik Polri, didakwa menerima suap, divonis 2 tahun oleh PN Jakarta Selatan, 6/10/2010), Muhtadi  Asnun (Ketua Majelin Hakim kasus Gayus T di PN Tangerang, didakwa menerima uang, tuntutan 3,5 tahun oleh PN Jakarta Timur, 8/11/2010), Haposan Hutagalung (pengacara Gayus, didakwa menyuap penyidik Polri dan turut menyiasati uang Gayus T sebagai milik Kosasih, terdakwa PN Jakarta selatan, 16/8/2010), Lambertus Palang Ama (anak buah Haposan, didakwa membuat kontra fiktif antara Gayus T dan Andi Kosasih, terdakwa PN Jakarta Selatan, 16/8/2010), Andi Kosasih (didakwa turut menyiasati uang milik Gayus T sebagai miliknya, terdakwa PN Jakarta Selatan, 23/8/2010), Cirus Sinaga (Jaksa, bersama Haposan Hutagalung menjadi tersangka dugaan pemalsuan dokumen petunjuk tuntutan atau rencana tuntutan kasus Gayus Tambunan, tersangka 12/11/2010).
Tambahan lagi, keluarnya Gayus T dari rutan Brimob, maka kesembilan polisi yang bertugas di Rumah Tahanan Brimob, termasuk Kepala rutan Komisaris (Pol) IS, yang kini sudah ditetapkan tersangka sejak 19/11/2010, telah menambah daftar panjang bahwa praktek-praktek suap-menyuap begitu rentan di negera kita ini. Sejumlah nama diatas, dengan keragaman profesinya menunjukkan, siapapun begitu imun terhadap praktek suap-menyuap. Lantas, kenapa korupsi seperti ini bisa terjadi? Tudingan utama pastilah di arahkan kepada bobroknya mentalitas bangsa ini. 

Potret Mentalitas kita
Oleh sebab itu, kasus Gayus T itu sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Yang tidak biasa itu adalah ketika para penyogok (penyaru-penyaru) Gayus T tidak diusut dan tidak dipenjarakan. Saya sebut ‘biasa biasa’ saja, karena hampir semua orang belakangan ini semakin geram dan semakin kesal melihat Gayus T, sementara koruptor yang berperan sebagai penyuap tidak dikecam habis-habisan.  Tak hanya Gayus T, mari berkaca pada pelaksanaan Pilkada baru-baru ini. Bayangkan, seorang kepala daerah menggelontorkn uang ratusan miliaran rupiah untuk memenangkan pertarungan kekuasaan.
Mereka (para kepala daerah yang sekarang tersandung korupsi), jelas tidak punya niat sedikitpun memimpin rakyat, tetapi sedang mengejar kekuasaan, sehingga cara menyogok rakyat dianggap halal untuk mengejar  kekuasaan. Kantong pribadi jauh lebih penting dari masa depan rakyatnya.
Tidak aneh, jika banyak kepala-kepala daerah hasil pilkada terjerat korupsi. Meminjam data TvOne (TvOne, 8/11/2010), sebanyak 150 bupati tersandung korupsi dan telah masuk bui dan tujuh gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka. Inipun bentuk-bentuk mentalitas yang tidak benar. Jika ‘para pemimpin’ saja sudah seperti ini, bukankan cerminan mentalitas pemimpin itu biasanya memantul sampai ke bawah? Tentu, hal ini patut dipersoalkan.
Gayus T itu adalah kita, gambaran Indonesia: yang menyogok kapanpun dan dimanapun. Ini soal mentalitas anak bangsa. Contoh lain, saat mengurus pembuatan  KTP. Sebenarnya kita tidak sedang mau mengurus KTP, tetapi sedang perang urat syaraf melawan diri sendiri. Kita bergumul memikirkan berapa uang harus kita sediakan dan siapa yang bisa disogok agar KTPnya  selesai cepat. Mahasiswa sering ‘pusing’ memikirkan jumlah ‘amplop’ yang diselipkan di dalam skripsi, untuk memperlancar proses ujian meja hijau, atau masyarakat begitu mudah membayar uang ‘pelicin’ supaya cepat lepas dari jerat birokrasi. Padahal, semuanya itu bisa dihadapi dengan akal sehat dan dengan cara-cara yang benar tanpa harus bayar.
Itu sekedar contoh-contoh kecil saja. Kita semua bisa menyebut contoh-contoh lainnya, sebagai masyarakat yang merasakan dan melakukannya barang kali. Maka, alangkah baiknya kita bercermin, bahwa kita ini perlu membenahi diri. Mentalitas kita perlu dibaharui setiap saat. Kita harus berani menantang diri, menghadapi dunia yang serba rusak ini.
Kita perlu berbenah diri. Membangun mental yang berintegritas dan berani bertindak benar. Jangan sampai menghakimi orang lain, tapi lupa intropeksi diri. Karena kita mungkin memakai ‘topeng Gayus’ setiap hari. Atau gayus itu adalah diri kita sendiri. Anda dan saya lebih tahu. Mestinya kita, berterimakasih kepada Gayus karena sudah membuka tabir gelap mentalitas bangsa ini. 

Matinya Nurani Wakil Rakyat
Cerita merangkak hingga ke gedung senayan. Hampir setiap hari layar kaca televisi mewartakan banyaknya politisi busuk di negeri ini. Padahal, semasa kampanye, mereka rajin mengumbar janji dan komitmennya membela rakyat. namun, tiba masa menjabat, lupa nasib rakyat, bahkan banyak sekali elit politik yang tersandung korupsi. Kenyataan ini menambah luka di hati rakyat.
Masih hangat dalan ingatan, kasus skandal bailout century yang kini lenyap ditelan bumi, menjadi bukti bobroknya politik-hukum di negeri ini. Entah sampai kapan, kasus ini ditangguhkan. Berharap kepada wakil rakyat memberi yang terbaik, yang ada justru menambah kekecewaan, wakil rakyat justru rajin bolos dari sidang[3] dan tak bisa menuntaskan produk undang-undang. Jadi, bukan hanya karena sering membolos, juga karena produktivitasnya yang rendah[4]  sehingga kini DPR jadi bahan perbincangan banyak orang.
Tak sampai di situ, DPR kembali menampilkan tabiat buruknya, mementingkan diri sendiri. Mereka mengajukan proposal pembangunan rumah aspirasi sebesar Rp 15 miliar, untung cepat dipatahkan rakyat. Tak patah arang, DPR kemudian mengusulkan pembangunan rumah aspirasi dengan dana sebesar Rp. 8,4 miliar, itupun ditolak habis-habisan oleh banyak pihak. Kini, di tengah tingginya kemiskinan[5], dan berbagai penderitaan rakyat yang belum tersentuh, DPR malah berencana akan membangun gedung baru yang mewah, dengan menganggarkan dana sebesar Rp 1,6 triliun dari APBN. Kini, itu masih perdebatan. Itu baru soal gedung, belum lagi soal alokasi dana untuk studi banding anggota DPR sebesar Rp 162,94 miliar (kompas, 18/9). Lagi-lagi, soal kepentingan pribadi dan meminggirkan nasib rakyat. 
Tumpukan manusia di depan istana saat acara ”open house”antrian demi rupiah adalah potret buram kemiskinan. Pejabat konglomerat sementara rakyat melarat. Tali temali kemiskinan bak air yang disiramkan memadamkan ’bara nasionalisme’ di hati rakyat. Sisi gelap lain, kita masih ingat politisi pragmatis Andi Nurpati, anggota KPU yang meloncat ke Partai Demokrat[6] (PD). Sesungguhnya bukan cuma Andi Nurpati saja. Ada beberapa anggota KPU yang masuk parpol, juga pragmatis[7]. Kasus ini disaksikan jutaan pasang mata di seantero Indonesia. Kaum muda yang belum stabil tentu memandang cara seperti itu pantas dan menjanjikan bagi kesejahteraan dan eksistensi kekuasaan, dan akan ditirunya. Ini jelas berbahaya.

Bahaya Laten Korupsi
Masalah yang lebih berat adalah korupsi[8]. Kini, korupsi kian nadir. Mungkin inilah yang mendorong Bapak Saldi Isra[9] sangat geram dan menyebutnya ”Korupsi (tak ada) Matinya”. Saking, berbahayanya terhadap eksistensi bangsa ini, Bapak Teten Masduki[10], menggugat pemerintah dan penegak hukum terhadap lemahnya pemberantasan korupsi, dalam opininya, ”Bangsa Korup”, dan”Pidato Antikorupsi” di harian kompas.
Untuk kesekian kalinya, kondisi yang sama akhirnya memaksa Presiden SBY kembali memberikan pernyataan keprihatinannya di depan media terkait reformasi hukum dan pemberantasan korupsi (kompas, 18/9). Ini isyarat bahwa korupsi masih menggeliat leluasa di negeri ini. Sayangnya, meskipun negara kita ini memiliki lengkap institusi penegak hukum dan lembaga superbodi antikorupsi, tetapi kehadiran lembaga-lembaga tersebut seakan tidak memberikan dampak nyata terhadap pemberantasan korupsi, bahkan nyaris semua institusi negara tersebut sudah tak ada lagi yang benar-benar bersih, alias korup.
Satu sebab yang pasti bahwa kehadiran lembaga penegak hukum dan institusi pemberantasan korupsi tersebut tidak otomatis menghadirkan iklim (nuansa) negara yang alergi korupsi. Korupsi belum dimaknai sebagai musuh bersama, yang begitu gagah merusak moral bangsa. Sekali lagi, kenyataan ini menambah daftar panjang terkoyaknya nasionalisme di republik ini.
Agar lebih sederhana, mari kita sitir setumpuk masalah diatas menjadi beberapa poin, (1) alasan para sarjana mencari kerja; (2) mentalitas pegawai murahan (mentalitas Gayus) (3) ketiadaan visi para pemimpin; (3) Bahaya laten korupsi; (4) Matinya nurani wakil rakyat; (5) kemiskinan. Beberapa masalah ini tentu tidak berdiri sendiri, tetapi rangkaian yang saling berkaitan sekaligus mempengaruhi terhadap redupnya nasionalisme kita hari ini.

Mengais-ais makna nasionalisme
Bagi sebagian besar diantara kita, kata nasionalisme bukanlah sebuah kata pencerahan baru. Sebab, berdirinya bangsa ini tak bisa dipisahkan dari peran semangat nasionalisme rakyat dan pemimpin negara ini, waktu itu. Ada yang bisa menginspirasi dari generasi dulu[11] (pasca proklamasi), bahwa mereka rela berkorban dengan gigih demi tegaknya Indonesia dan tak satupun bisa merebutnya dari tangan rakyat.
Mencermati realita kini, mungkin kita (generasi sekarang) kurang menyadari semangat para pejuang dulu, yang siap berperang membela negara demi tegaknya republik Indonesia. Kecintaan kepada negeri ini, mendorong mereka siap meninggalkan anak-istri, melepas kenyamanan, tenggelam dalam perjuangan dan tidak memandang jabatannya sebagai sesuatu yang pantas dipertahankan demi tanah tercinta yang kini diwariskan kepada kita. Itulah nasionalisme sejati.

Adakah Alternatif?
Salah satu pertanyaan besar yang harus kita cermati adalah apakah kecintaan kita pada negeri ini kita masih kuat, di tengah derasnya arus globalisasi masa kini? Bagaimana menjawab tantangan perkembangan yang kini berada di ambang pintu kebesaran dan kemajuan, dengan suatu kepemimpinan? Kita tentu tak menginginkan perubahan yang sepotong-sepotong. Kita berharap terjadinya perubahan yang menyeluruh (terintegrasi), dan itu hanya bisa terjadi jika semua pihak ikut ambil bagian dalam membangun bangsa ini.
Jamak diketahui bahwa kepemimpinan yang visionerlah yang mampu membawa bangsa Indonesi keluar dari semua masalahnya, bahkan dari bahaya hilangnya nasionalisme. Sebuah kepemimpinan yang memandang lebih jauh atas masa depan rakyat. Kita harus bangkit. Caranya, kita harus menemukan kembali semangat para pendiri bangsa ini di dalam diri kita, yaitu semangat kepemimpinan dengan visi yang jauh ke depan.
Generasi masa kini harus bisa keluar dari garis batas berpikir standar. Sebab, bila tak mampu melihat lebih jauh dan nihil kepemimpinan, bagaimana mungkin kita akan berani bertindak secara tegas dan meyakinkan dalam melawan korupsi? Bila tanpa kepemimpinan dan tanpa visi yang jelas, maka masa depan bangsa ini semakin quovadis.
Maka, pemimpin negeri ini perlu membuka mata terhadap keadaan rakyat.[12] Meminjam kata-kata bijak di Film ”Spiderman”, The great power come with the great responsibility, pantas untuk diadopsi oleh pemimpin manapun. Pemberantasan korupsi, mentalitas pegawai murahan, ketiadaan visi para pemimpin, rendahnya moralitas DPR, kemiskinan struktural (seperti yang diuraikan di atas), kita akui rentan mengoyak nasionalisme generasi sekarang. Harapan, efektivitas, visi, dan kepemimpinan yang visioner adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk membangun nasionalisme bangsa ini.
Kita semua (tanpa terkecuali), perlu turut ambil bagian. Tanpa partisipasi kita semua, mustahil bangsa ini bisa kita bangun. Kita perlu bekerja saling membahu membangun bangsa lewat potensi yang kita miliki. Dengan semangat nasionalisme, konsistensi dan keberanian menantang diri, sembari meyakini kasih Allah bagi bangsa ini, saya yakin Indonesia akan jauh lebih baik.



[1] Soe Hoek Gie, aktivis mahasiswa, pemuda kritis, yang di tubuhnya mengalir darah patriotisme, nasionalis. Sosk yang menginspirasi banyak orang tentang nasionalisme. Beliau sebenarnya, suku Tionghoa, namun kecintaannya kepada Indonesia membuatnya, siap ambil resiko apapun, berjuang melawan tirani. Kutipan diambil dari buku Soe Hoek Gie…Sekali lagi Buku Pesta dan Cinta di alam Bangsanya, yang diterbitkan kompas
[2] Samuel Tumanggor, penulis buku :”Demi Allah dan Demi Indonesia”. Beliau juga sudah menulis sedikitnya 5 buah buku, dengan berbagai artikel di beberapa media, dan masih aktif menulis hingga hari ini.
[3] Dari data Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR bahwa tingkat kehadiran wakil rakyat selama tiga masa sidang terus menurun. Sidang I (1 Oktober 2009-4 Desember 2009) tercatat 92, 57 persen anggota DPR menghadiri rapat, sidang II (4 Januari-5 Maret 2010) hanya 84,32 persen yang hadir. Dan pada sidang II (5 April- 18 Juni 2010) yang hadir tinggal 71,59 persen. Fenomena ini sangat mengecewakan bagi rakyat (kompas,29/7/2010).
[4] Sepanjang januari hingga juli 2010, dari 70 rancangan undang-undang (RUU), DPR baru mensahkan tujuh RUU yang sebagian besar tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 dan dari tujuh RUU yang disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang itu, hanya satu yang masuk Prolegnas 2010 (kompas, 31/7/2010). Fenomena ini sungguh memalukan!
[5] Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan masih lebih 13 persen, sementara berdasarkan angka organisasi internasional, berkisar 17 persen dengan menggunakan indikator pendapatan satu dolar AS perhari. Namun, jika menggunakan angka bank dunia pengeluaran 2 dolar AS perhari, setengah dari penduduk Indonesia adalah penduduk miskin. Bagaimana mau mencintai bangsa ini, sebab negara ini tak lagi mencintai mereka (baca: rakyat miskin)?
[6] PD adalah partai yang didirikan oleh Presiden SBY, SBY dan PD-nya berhasil dua kali memenangkan kontestasi politik di pilpres 2004-2009 dan 2009-2014. tak sedikit politisi dari PD juga berhasil memenangi pemilihan kepala daerah
[7] Beberapa anggota KPU yang masuk parpol antara lain: (1) Andi Malarangeng (KPU periode 1999-2004) mengundurkan diri dari KPU pada tahun 2000, yang kemudian membentuk Partai Demokrasi Kebangsaan pada tahun 2002; (2)  Urbaningrum (KPU periode 2001-2005) mengundurkan diri dari KPU pada juni 2005 dan bergabung dengan partai demokrat sebagai ketua bidang politik; (3) Johannes Baptista Lalongke (KPU propinsi NTT periode 2003-2008) mengundurkan diri karena menjadi caleg DPRD Propinsi NTT dari Partai Golkar periode 2009-2014 (sumber kompas, 22/6/2010).
[8] Istilah korupsi pertama kali hadir dari kata latin, “coruptio yang artinya pembusukan moral. Dari artinya saja, korupsi adalah sesuatu yang sangat jahat atau suatu perilaku busuk perusak moral. Meski korupsi sebagai suatu tindakan jahat dan sangat merusak moral, tetapi akhir-akhir ini tindakan seperti itu justru dianggap ‘wajar-wajar’ saja. Banyak orang belum bisa memaknai korupsi sebagai perilaku kotor, pembusuk moral bangsa.
[9] Saldi Isra adalah praktisi hukum dari universitas Andalas
[10] Bapak Teten Masduki adalah pemerhati masalah korupsi dari ICW, aktif menulis di berbagai media.
[11] Realitas-realitas kala itu tampak jelas bahwa pemuda-pemuda Indonesia penuh dengan idealisme. Mereka punya “semangat baja”, meski mereka hanya punya dua pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan cita cita idealisme. Kedua, kompromi dengan musuh. Yang idealis, harus siap mati tersingkir, tertawan, dan ditindas. Sementara yang memilih kompromi, menjilat, berkhianat, bergabung dengan penjajah, dan kariernya menanjak, tapi harus merelakan negerinya tersandera selamanya
[12] Dedy Hutajulu, dalam opininya: “Jangan Sampai Indonesia dilecehkan”, harian analisa, 25/8/2010, dalam tulisan ini dituliskan bahwa bangsa sebesar Indonesia ini belum bisa duduk sama rata, berdiri sama tinggi dengan Malaysia, bahkan kita harus merelakan saudara kita menjadi kuli (TKI) di Malaysia.


Rabu, 09 November 2011

Kata-kata Haji Mahbub

Kata-kata Haji Mahbub
1 Oktober 1995, H Mahbub Djunaidi menghembuskan nafas terakhir. Enam belas tahun Mahbub meninggalkan kita, batang hidungnya tak akan pernah muncul kembali. Tapi kata-katanya masih hidup. Siapa yang hendak belajar bahasa? Mahbub salah satu rujukannya.
BAGI saya H. Mahbub Djunaidi adalah jawaranya esais. Misal ada kategori lima orang esais terbaik dalam sejarah Indonesia, saya ngotot menominasikannya sebagai salah satu. Kalau definisi mutakhir teks mengatakan sia-sia membuat pembedaan antara gaya dengan isi tulisan, Mahbub adalah contoh sempurna.
Gagasan dan kejutan yang diajukan dalam esai-esainya sulit dibayangkan bisa di tulis dalam gaya penulisan lain. Pendek kata, bagi saya Mahbub adalah penyihir kata-kata.
Sebutan penyihir boleh jadi terlalu mistik, tapi biarlah. Lalu bagaimana menjelaskan sesuatu yang mistik? Meski tentu banyak sisi positifnya, gara-gara birokrasi logika modern, sebentar-sebentar orang menuduh hal-hal tak terjelaskan secara rasional sebagai mistik. Toh, sihir punya mantra seperti pesawat terbang punya karcis. Kalau demikian adanya, macam apa mantranya Mahbub itu? Apakah hal-hal yang jadi kekuatan dalam esai-esainya?

Cara pandang terhadap realitas
Orang tentu mafhum Mahbub adalah kolumnis politik. Hampir di tiap kolom dia menulis perkara tersebut beserta aspek-aspeknya. Sekurang-kurangnya membahas dampak kebijakan pemerintah pada orang banyak. Penulis yang model begini amat banyak jumlahnya. Namun yang membedakan dengan penulis lain adalah cara Mahbub memandang persoalan politik, terutama berkaitan posisi rakyat berhadapan dengan Negara
Ia hampir selalu memulai tulisan dengan memosisikan rakyat dan negara di atas kertas, menggunakan kerangka teoretik ideal. Teorinya, negara merupakan organisasi yang dibangun demi kemaslahatan rakyatnya. Namun dalam struktur tata negara yang bagaimanapun macamnya, termasuk demokrasi, mustahil pendapat rakyat yang banyak itu diaplikasikan secara keseluruhan orang per orang. Maksimal, negara hanya bisa meratakan kesejahteraan dan menjamin kebebasan berpendapat. Karenanya, rakyat dalam beberapa hal harus mengerti jika negara yang tugasnya masya Allah banyak itu, kadang belum sanggup memuaskan mereka.
Namun posisi teoretik Mahbub ini boleh dibilang unik. Ia tak pernah mengungkapkannya dengan bahasa yang teknis. Untuk kepentingan ini digunakanlah cerita, anggapan umum, peristiwa populer, humor, atau macam-macam perabot lainnya, yang dalam hal ini perlengkapan Mahbub amat lengkap. Sama sekali tak berpretensi ilmiah.
Silakan cek esai Dinamisasi via Binatang yang ditulisnya menyambut ide Menteri Agama Mukti Ali untuk memodernisasi pesantren lewat pemberian binatang ternak. Pada awalnya Mahbub seperti mengikuti jalan pikiran Mukti Ali, bahkan terkesan menjelaskannya. Namun belakangan, ia justru bertanya, kenapa cuma pesantren yang dituding sekadar konsumen? Bukankah perilaku institusi pendidikan lainnya juga kurang-lebih demikian adanya?
Sekarang silakan teliti juga esai berjudul Demokrasi: Martabat dan Ongkosnya. Dalam esai ini akan terjelaskan bagaimana Mahbub bisa memiliki cara pandang demikian. Sumbernya tak lain keluguan. Dia menceritakan perihal rancangan kenaikan anggaran buat anggota DPR sambil menceritakan betapa logisnya alasan mereka mengusulkan hal tersebut, persis orang awam yang hanya paham perkara teknis tanpa menangkap motif lainnya. Mendadak di paragraf akhir, setelah kita diajak tamasya sambil tertawa-tawa, lewat pergeseran perspektif yang sublime, ia meledek dengan lembut, bahwa tuah hak Budget legislatif tiada gigi.
Dalam esai, aku-esai yang mewakili pengarang bercerita lewat medium bahasa, terwujud dalam cara pandang, cara mengajukan gagasan, cara ajukan pertanyaan, cara menyimpulkan, dan hal-hal lain yang bersifat unik. Sebagaimana dimaklumi dalam filsafat bahasa mutakhir, tak ada realitas di luar bahasa. Secara umum boleh dikatakan bahwa kemampuan seseorang untuk berpikir logis dan jernih, akan terefleksi dalam tulisannya, dalam bahasanya. Hal yang demikian bias kita lihat pada Mahbub.
Mahbub pernah bilang, dirinya lebih senang digantungi merk sebagai sastrawan. Kenyataannya memang demikian. Tapi perkara ini di luar fakta bahwa ia pernah menulis beberapa novel. Perspektif keluguan membuatnya bisa mengeker kenyataan dengan perspektif unik, sebagaimana umumnya dipraktikkan para sastrawan. Bertebaranlah di esai-esainya, pameran hasil pengamatan yang sering bikin kita terlonjak keheranan. Ada dikatakan orang yang selalu membicarakan cuaca tak ubahnya orang Inggris. Dia menyebut perihal berisiknya orang Cina, karena empat orang yang berkumpul sanggup berbicara bersama-sama. Di lain waktu, ia menceritakan anak-anak di bulan puasa yang mulai siang tidur menelungkup menekan perut keras-keras ke ubin langgar hingga hampir maghrib. Satu dua ada juga yang diam-diam menggigit mangga muda di belakang kakus.
Dengan pengamatan sekuat ini, tak heran Mahbub seperti tukang dongeng yang bisa menggubah peristiwa apa saja menjadi cerita yang mengesankan. Saya menduga kemampuan mendongeng ini diwariskan Mahbub dari khazanah tradisi Betawi yang melahirkan beberapa tukang cerite yang legendaris, seperti Zahid bin Muhammad.
Dalam khazanah sastra Indonesia, tradisi menulis dengan gaya kocak dan lugu ini bisa dilacak dalam karya-karya Idrus, sebagaimana terlihat dalam kumpulan cerita terbaiknya, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Saat ini kemampuan Mahbub mendongeng barangkali hanya bisa disejajarkan dengan sastrawan Putu Wijaya. Dengan kemampuan mendongeng ini, Pak Haji Mahbub mampu menyajikan persoalan dengan ringan. Pembaca paham duduk persoalan tanpa melewati penjelasan konseptual yang bikin kepala serasa berlipat.

Pemberontakan literer
Menurut para ahli, kaum sastrawan, terutama penyair, punya kedudukan istimewa terhadap bahasa, yang dipresentasikan dalam licentia poetica. Singkatnya, dengan istilah yang konon pertama kali diajukan oleh Aristoteles ini, dimaksudkan bahwa demi mencapai tingkat estetika tertentu sastrawan boleh mengutak-atik bahasa sedemikian rupa layaknya montir mesin. Dalam hemat saya ini merupakan mantra Mahbub selanjutnya.
Mahbub sepertinya tak pernah ambil pusing apakah istilah dan kata-kata yang digunakannya masuk hitungan kebakuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Makanya kita bisa capek sendiri menghitung pelanggaran EYD yang dilakukan dalam esai-esainya. Biasanya ia memakai istilah dan struktur bahasa Betawi yang di Indonesia sering dipakai dalam bahasa percakapan. Beberapa kali ia juga memakai istilah dari bahasa Jawa. Alih-alih ditegur karena kebandelannya, Goenawan Mohamad yang dikenal apik berbahasa malah memujinya sebagai penerobos bahasa. Ya, boleh jadi dalam hal ini Mahbub memang keblinger, tapi justru dari sinilah esai-esainya mencerminkan karakter yang khas. Dia menemukan sendiri capaian estetikanya.
Kebandelan Mahbub dalam berbahasa bukanlah sembarang pelanggaran. Jika ukurannya adalah pencapaian estetik, ia sanggup memenuhi tagihan sertifikat licentia poetica dengan impas, barangkali berikut bunganya. Barangkali sifat sastrawi dalam karya-karya Mahbub bukanlah yang melankolis, sensitif, mendayu-dayu sifatnya. Tapi, toh, John Steinbeck yang menulis cerita-cerita yang menyanyikan humor dan kesintingan pun akhirnya harus datang ke Stockholm, Swedia, buat menerima Nobel Sastra sambil ditepuktangani banyak orang.

Humor
Barangkali tak ada segi paling digandrungi dari esai Mahbub ketimbang humornya. Konon ada orang yang sampai kebelet kencing lantaran membaca tulisan-tulisannya. Saya sih tak ekstrem begitu. Paling-paling hanya menyebabkan durasi membaca jadi lebih lama lantaran sering diselingi cekikikan dan cekakakan. Celakanya, humor-humor Mahbub sering terbawa ingatan saat saya melakukan aktivitas lain. Boleh jadi orang yang kurang paham duduk persoalannya menganggap saya sinting atau semacamnya.
Mahbub sering menyajikan humor satir. Hal ini bisa kita simak antara lain pada Sepatu, di mana ia mengejek banyaknya koleksi sepatu Imelda Marcos. Kadang ia bercerita yang baik-baik saja perihal lembaga negara atau individu dengan demikian sempurnanya, sampai-sampai pembaca akhirnya sadar bahwa Mahbub nyata-nyata tengah mengejek dengan menyebut nilai-nilai yang justru tak dimiliki pihak bersangkutan. Hal yang demikian, misalnya muncul pada Kota.
Teknik humor Mahbub yang paling umum adalah metafora dan celetukan yang bukan alang-kepalang mengejutkannya. Silakan disimak sendiri sebagian kecil contoh berikut:
- Futurolog itu…semacam dukun juga, tapi keluaran sekolahan
- Anak-anak saya…patuh sepatuh-patuhnya bagaikan anak anjing ras
- Sedangkan masuk kamar mandi saja ada risiko terpelanting, apalagi jadi bendaharawan
- Tidak sedikit orang beli koran dan langsung membaca iklan-iklan kematian, mencari tahu umur berapakah orang yang meninggal itu, sekadar membanding-bandingkan dengan umurnya sendiri
- Maka dari itu, nyonya sehat bagaikan ikan bandeng
- Yoga, melipat badan berlama-lama seperti kelelawar
- Pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti sekandang burung parkit
- Abdurrahman Wahid…bertubuh gempal, ibarat jambu kelutuk yang ranum…punya kebolehan humor yang mengejutkan, seakan-akan dia jambret begitu saja dari laci
Penemuan metafora-metafora yang begitu orisinal dan sublim semacam inilah yang menurut hemat saya menjadi kekuatan utama dari esai-esai Mahbub. Teknik metafor ini dipadukan dengan mantra-mantra sihir yang disebut sebelumnya, membuat esai-esainya lincah. Sering kita temukan beberapa asosiasi ditumpuk sekaligus dalam satu pernyataan.
Tak jarang demi memberi tempat buat dorongan humornya, Mahbub harus melenceng barang sebentar dari persoalan utama. Sering juga berlama-lama. Tapi memang kerapkali pada karya-karya bermutu tinggi, irisan-irisan “ketidaksempurnaan” semacam inilah yang justru membumbui estetika. Coba Saudara simak musikus-musikus hebat yang secara teoretik bakal lebih bagus lagunya didengarkan di hasil rekaman, karena celah-celahnya telah disempurnakan lewat bantuan teknologi. Tapi pendengar musik yang paham duduk persoalan bakal lebih memilih mendengarkan suara live-nya di panggung, meski lewat medium perantara.
MAHBUB, seperti yang diakui sendiri dalam sebuah esainya, adalah seorang generalis. Ia mencomot sembarang persoalan yang menarik perhatiannya buat dibahas, tanpa peduli batas-batas spesialisasi keilmuan. Bagaimana Mahbub mau bicara spesialisasi, wong sarjana saja bukan?
Ia memang unggul dalam hal menyajikan persoalan dengan sederhana melalui generalisasi yang cerdas. Tapi untuk itu kadang ia tak sempat menengok ke celah-celah persoalan, menakar barang sebentar, barangkali ada satu hal atau dua yang tak masuk dalam kategori generalisasinya. Ia juga sering membahas masalah hanya dari aspek spesifik tertentu. Dengan begini, ia tak pernah membahasnya untuk menyajikan solusi dengan tuntas, mulai ujung kepala sampai jempol kaki.
Tapi kelihatannya memang bukan pembahasan lengkap model demikian yang diinginkan Mahbub. Ia ikut berbaur dengan berbagai macam manusia, lengkap bersama pluralitas persoalannya, tanpa bermaksud menarik sebuah rumus deduktif buat setiap masalah. Tapi jangan sekali-kali menganggap Mahbub tak bisa menulis dengan gaya konvensional, artinya nirbumbu-bumbu humor di sembarang tempat, tanpa hilang kejernihan. Kalau tak percaya, sila dibaca, "Soal Pilihan".
Konon, beberapa orang berpendapat, Mahbub memilih teknik menulis demikian lantaran kondisi sosial-politik Orde Baru yang tidak memungkinkan orang mengkritik dengan keras. Maka humor jadi siasatnya untuk menyelubungi perbedaan-perbedaan pandangannya dengan pihak otoritas. Barangkali anggapan ini ada benarnya.
Tapi bagi saya sih, peduli setan! Dengan atau tanpa Orde Baru, Mahbub tetaplah Mahbub yang menyihir kita lewat kata-kata. Dan kata-kata Mahbub, masih hidup

SUMBER nu.or.id
Last modified on Thursday, 06 October 2011 01:40

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons