Rabu, 09 November 2011

Catatan Ulil Abshar Abdallah

Catatan Ulil Abshar-Abdalla Terkait Tulisan Mahbub Djunaidi

Re: [Pakdjohan_70th] Mahbub Djunaidi, "Kolumnis"
Lil, tentang tulisan Mahbub ini Amir Mahmud beri komentar, tlisan Mahbub itu terasa lucu kalau dibaca satu kali, tapi kalau dibaca dua tiga kali terasa menyakitkan. Jawab Mahbuh, sebaiknya Pak Amir Mahmud membacanya satu kali saja.

On Mon, 7/27/09, Ulil Abshar-Abdalla wrote:
From: Ulil Abshar-Abdalla
Subject: [Pakdjohan_70th] Mahbub Djunaidi, "Kolumnis"
To: ,  , , "Rapat JIL" ,
---
Catatan: Mahbub Djunaidi mungkin satu-satnya penulis kolom dengan gaya jenaka yang tidak atau sulit tergantikan hingga sekarang. Saat membaca kembali kolomnya yang pernah dimuat di rubrik Asal Usul Kompas berikut ini, saya tak henti-hentinya untuk terpingkal-pingkal. Silahkan dinikmati kolom Mahbub di bawah ini, Kata Ulil
---

Kolumnis
Oleh: Mahbub Djunaidi

TIAP KTP punya baris "pekerjaaan" yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan mantap mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka apakah makhluk dirjen itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan profesinya, karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan seperti halnya juga komisioner. Sekarang, apa yang harius diisi seorang penganggur yang banyak sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh penganggur yang tidak punya pekerjaan?
Biasanya mereka isi dengan perkataan "swasta" atau "wiraswasta. Saya berani bertaruh, tidak ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain demi harga diri dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku penganggur itu karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut dianggap menyindir. Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi "Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" . Jika penganggur mengaku terus terang keadaanya, apa itu bukannya bisa dianggap menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak?
Hal serupa dialami oleh para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara murni dan konsekwen pada bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara", maka tidak mungkin bergelombang- gelombang pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan merazia dan menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa sampai melalaikan pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang diperbolehkan sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber?
PEKERJAAN Dirjen orang tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang paham. Tapi profesi "kolumnis" masih asing dan belum banyak yang maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolumnis"  sebagai jenis pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu? Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa beda antara kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok akan lenyap juga, nantilah kita lihat saja.
Apa yang ditulis kolumnis itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta. Sebab, jika semua fakta mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo tiga hari dunia ini akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual, itu benar. Tetapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua fakta disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap dibeberkan apa adanya?
Saya punya contoh, bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta, melainkan imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca. Misalnya kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. Dalam Kompas terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok, Garpu dan lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa pakai sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat.
Sebagai orang yang kenal baik Ajip Rosidi, saya tahu persis ia sama sekali bukan gastronom, bukan pakar makan-memakan, bahkan mirip pun tidak. Ia bukan tukang makan, melainkan tukang telan apa saja yang lewat di depan hidung. Bagaimana mungkin seorang awam makanan seperti Ajip berani menulis artikel ihwal makanan, kalau bukan semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana mungkin seorang yang tidak bisa membedakan mana kroket dan mana combro mampu menulis soal makanan? Ini sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang yang berdiam di kaki Gunung Galunggung bicara soal taman laut dan rahasia samudera.
Saya punya kisah pribadi yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya mampir di Kyoto naik kereta api., Ajip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong. Sesudah bersalam-salaman sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing dan bertanya ihwal Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ajip pun berbaik hati menawarkan apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya sukai.
Saya bilang, memang saya belum makan, dan makan apa pun jadilah. Sukiyaki boleh, steak Kobe pn jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ajip pun mengajak berjalan kaki masuk keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga bukan saja perut makin lapar, tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir, kok [di] kota semacam Kyoto yang cukup besar itu, susah betul cari restoran?
Sesudah kaki tidak kuat lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ajip sebetulnya tidak tahu persis, di mana letak restoran yang menjual makanan [yang] saya sebut itu, bahkan Ajip malahan tidak bisa baca huruf Kanji. Tentu saja ia tidak bisa membedakan mana restoran dan mana toko potret. Sesudah tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan mengusulkan supaya makan makanan apa saja yang tampak oleh mata. Maka, kami pun menghampiri depot penjual hamburger, makanan yang bisa ditemui siapa saja dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun orang buta.****
Kompas, 17 Juli 1988.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons