Catatan Ulil
Abshar-Abdalla Terkait Tulisan Mahbub Djunaidi
Re:
[Pakdjohan_70th] Mahbub Djunaidi, "Kolumnis"
Lil,
tentang tulisan Mahbub ini Amir Mahmud beri komentar, tlisan Mahbub itu terasa
lucu kalau dibaca satu kali, tapi kalau dibaca dua tiga kali terasa menyakitkan.
Jawab Mahbuh, sebaiknya Pak Amir Mahmud membacanya satu kali saja.
On
Mon, 7/27/09, Ulil Abshar-Abdalla wrote:
From:
Ulil Abshar-Abdalla
Subject: [Pakdjohan_70th] Mahbub Djunaidi, "Kolumnis"
To:,
,
, "Rapat JIL"
,
---
Subject: [Pakdjohan_70th] Mahbub Djunaidi, "Kolumnis"
To:
---
Catatan: Mahbub Djunaidi mungkin satu-satnya penulis kolom
dengan gaya jenaka yang tidak atau sulit tergantikan hingga sekarang. Saat
membaca kembali kolomnya yang pernah dimuat di rubrik Asal Usul Kompas
berikut ini, saya tak henti-hentinya untuk terpingkal-pingkal. Silahkan
dinikmati kolom Mahbub di bawah ini, Kata Ulil
---
Kolumnis
Oleh: Mahbub
Djunaidi
TIAP KTP punya baris
"pekerjaaan" yang mesti diisi. Seorang Dirjen akan dengan mantap
mengisinya karena yakin betul tiap orang mafhum belaka apakah makhluk dirjen
itu. Seorang makelar pun sekarang ini tidak usah kikuk mencantumkan profesinya,
karena dunia makelar pun sudah sah jadi penunjang pembangunan seperti halnya
juga komisioner. Sekarang, apa yang harius diisi seorang penganggur yang banyak
sekali jumlahnya di negeri ini? Demi harga diri dan demi supaya tidak
dicurigai, mustahil seorang penganggur mengisi apa adanya dalam KTP. Karena
jenis pekerjaan mesti jelas tercantum, maka apa yang mesti ditulis oleh
penganggur yang tidak punya pekerjaan?
Biasanya mereka isi dengan
perkataan "swasta" atau "wiraswasta. Saya berani bertaruh, tidak
ada penganggur yang berterus terang menulis apa adanya. Selain demi harga diri
dan demi jangan dicurigai, juga mereka menghindar dari mengaku penganggur itu
karena merasa kurang enak kepada pihak pemerintah, takut dianggap menyindir.
Mengapa menyindir? Karena bunyi pasal 27 UUD berbunyi "Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" . Jika
penganggur mengaku terus terang keadaanya, apa itu bukannya bisa dianggap
menyindir, seakan-akan pemerintah sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang
layak?
Hal serupa dialami oleh
para pengemis. Jika pemerintah berpegang teguh secara murni dan konsekwen pada
bunyi pasal 34 UUD yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara", maka tidak mungkin bergelombang- gelombang
pengemis masuk kota. Anehnya, ada kotamadya yang mengancam akan merazia dan
menangkap pengemis. Apakah memang pantas dipersoalkan kenapa sampai melalaikan
pasal 34 UUD itu hingga berdasar Pancasila ini bila orang diperbolehkan
sekaya-kayanya, tapi para fakir miskin malahan diuber-uber?
PEKERJAAN Dirjen orang
tahu. Begitu juga makelar atau komisioner. Bahkan profesi dukun pun orang
paham. Tapi profesi "kolumnis" masih asing dan belum banyak yang
maklum. Jika saya mencantumkan perkataan "kolumnis" sebagai
jenis pekerjaan, banyak yang bertanya-tanya binatang apa sih kolumnis itu?
Kolumnis itu bagian pekerjaan malam apa siang? Bahkan ada yang bertanya, apa
beda antara kolumnis dengan komunis? Tentu beda. Komunis itu sudah musnah
sedangkan kolumnis itu masih ada, setidaknya sampai hari ini. Perkara besok
akan lenyap juga, nantilah kita lihat saja.
Apa yang ditulis kolumnis
itu memang fakta? Bisa fakta dan bisa juga bukan fakta. Sebab, jika semua fakta
mesti ditulis secara terbuka dan apa adanya, dalam tempo tiga hari dunia ini
akan terbolak-balik. Bahwa koran mesti menyiarkan yang faktual, itu benar.
Tetapi tidak semua fakta layak disiarkan. Sebab, apa jadinya jika semua fakta
disiarkan oleh koran? Apa jadinya jika korupsi mulai teri hingga kakap dibeberkan
apa adanya?
Saya punya contoh,
bagaimana seorang kolumnis menulis bukan atas dasar fakta, melainkan
imajinasinya yang diharapkan bisa ditarik manfaatnya oleh pembaca. Misalnya
kolumnis Ajip Rosidi yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jepang. Dalam Kompas
terbitan 6 Juni 1986, ia menurunkan tulisan berjudul Sendok, Garpu dan
lain-lain. Tulisan itu menyebut ihwal makanan, cara makannya, apa pakai
sendok apa pakai sumpit, apakah itu makanan Jepang atau Barat.
Sebagai orang yang kenal
baik Ajip Rosidi, saya tahu persis ia sama sekali bukan gastronom, bukan pakar
makan-memakan, bahkan mirip pun tidak. Ia bukan tukang makan, melainkan tukang
telan apa saja yang lewat di depan hidung. Bagaimana mungkin seorang awam
makanan seperti Ajip berani menulis artikel ihwal makanan, kalau bukan
semata-mata atas dorongan imajinasinya? Bagaimana mungkin seorang yang tidak
bisa membedakan mana kroket dan mana combro mampu menulis soal makanan? Ini
sama saja anehnya dengan orang asal Indihiang yang berdiam di kaki Gunung Galunggung
bicara soal taman laut dan rahasia samudera.
Saya punya kisah pribadi
yang mendukung pendapat saya. Pada tahun 1982 saya mampir di Kyoto naik kereta
api., Ajip Rosidi persis menunggu di pintu gerbong. Sesudah bersalam-salaman
sebagaimana layaknya, sesudah tanya ihwal masing-masing dan bertanya ihwal
Tanah Air yang saat itu menjelang saat pemilu, Ajip pun berbaik hati menawarkan
apa saya mau makan siang, dan makanan apa yang saya sukai.
Saya bilang, memang saya
belum makan, dan makan apa pun jadilah. Sukiyaki boleh, steak
Kobe pn jadi, pokoknya asal cepat. Maka Ajip pun mengajak berjalan kaki masuk
keluar lorong, ada barangkali satu jam sehingga bukan saja perut makin lapar,
tapi kaki pun sudah kaku. Di dalam hati saya berpikir, kok [di] kota semacam Kyoto
yang cukup besar itu, susah betul cari restoran?
Sesudah kaki tidak kuat
lagi melangkah, tahulah saya bahwa Ajip sebetulnya tidak tahu persis, di mana
letak restoran yang menjual makanan [yang] saya sebut itu, bahkan Ajip malahan
tidak bisa baca huruf Kanji. Tentu saja ia tidak bisa membedakan mana restoran
dan mana toko potret. Sesudah tidak sanggup lagi
meneruskan perjalanan, saya pun pasrah dan mengusulkan supaya makan makanan apa
saja yang tampak oleh mata. Maka, kami pun menghampiri depot penjual hamburger,
makanan yang bisa ditemui siapa saja dengan mudah, baik oleh nenek-nenek maupun
orang buta.****
Kompas,
17 Juli 1988.
0 komentar:
Posting Komentar