Chairil Anwar; Puisi, Revolusi, Lalu Hidup Seribu Tahun Lagi.
Kita tahu dia pencuri, plagiat, bohemian, penerjemah, dan
tentu saja, penyair besar.
Ya, tapi mengapa Chairil?
Ya, tapi mengapa Chairil?
Karena berbicara sastra Indonesia
tanpa mengikutsertakan penyair ini, adalah kesalahan yang tak terampuni. Sama
halnya menunaikan sembahyang tanpa melakukan takbir. Terutama karena dia
melakukan revolusi dalam dunia kesusastraan Indonesia –terlebih, puisi.
Sutan Takdir Alisyahbana (Takdir-pen) jauh-jauh hari sebelum Chairil, telah
mendeklarasikan sebuah proyek pembaharuan dalam kebudayaan Indonesia. Jadilah
majalah Poedjangga Baroe yang didirikannya menjadi semacam Alkitab yang
mengabarkan misi profetiknya; modernisasi kebudayaan Indonesia yang mesti
berkaca dari cerlangnya rasionalitas dunia barat. Takdir pun bersiasat, Takdir
menyusun filsafat. Tapi orang menjadi maklum, bahwa ia tak kunjung berhasil menuangkan
renungannya dalam pencapaian estetika susastra yang dianggapnya sebagai garda
depan kebudayaan.
Tiba giliran Chairil yang tahu-tahu dengan lantang berucap “Aku”, ketika
penyair sebelum dan semasanya masih sibuk dengan ungkapan “beta.” Maka terselamatkanlah
cita-cita modernisasi Poedjangga Baru yang hampir-hampir menjadi “macan
kertas” belaka. Chairil, betapapun –kalau memang demikian- plagiatnya ia, tapi
dibawakannya kepada kita angin baru dalam dunia persajakan Indonesia. Baik
dalam soal bentuk, maupun tema. Pola-pola persajakan melayu lama yang banyak
terpaku pada rima, dibabatnya tiba-tiba.
Bandingkan, misalnya, dua petikan sajak ini:
Rang… rang… rangkup
Rang… rang… rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
(sajak Batu Belah)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
(sajak Aku)
Pada sajak Batu Belah yang ditulis Amir Hamzah, kita lihat struktur
pantun dengan kuatnya permainan bunyi yang menjadi ciri esensial dalam
sajak-sajak yang berakar pada tradisi melayu. Sementara pada bait di bawahnya
yang saya petik dari sajak Aku, karya Chairil, meski ada kesamaan huruf
dari tiap akhir barisnya, namun sama sekali tidak mengasosiasikan persahutan
bunyi seperti pada sajak Amir Hamzah. Pada hemat saya, “kesemena-menaan” bentuk
ini juga yang memungkinkannya untuk mengeksplorasi tema baru dalam tradisi
puisi Indonesia.
Chairil yang lebih banyak menengok kepada tradisi barat, dari pengembaraan
spiritualnya, memberi kita oleh-oleh tema yang cukup gandrung di dataran eropa
ketika itu; eksistensialisme.
Kecuali tentang keindahan alam, sebagaimana penyair sebelumnya, praktis ia
masih membicarakan soal-soal seperti cinta, religiusitas, persahabatan dan
sebagainya. Tapi di tangan penyair yang dianggap sebagai pelopor angkatan 45
ini, hal-hal tersebut seolah hanya menjadi medium untuk menegaskan prinsip
individualitasnya yang berakar pada filsafat eksistensialisme.
Tengok saja ungkapan-ungkapan dalam sajak cintanya seperti Penerimaan; Kalau
kau mau kuterima kau kembali/Untukku sendiri tapi/Sedang dengan cermin aku
enggan berbagi. Atau bahkan kepada Tuhan, ia sempat bilang; Ini
ruang/Gelanggang kami berperang/Binasa-membinasa/Satu menista lain gila.
Kita dapat mengendus aroma ke-Aku-an yang tajam pada frasa-frasa semacam itu
yang memang menjadi ciri khasnya. Belum lagi sajak Aku yang menjadi semacam
manifesto bagi pendiriannya.
***
Chairil memang anak jamannya, meski lahir di tempat yang keliru.
Bayangkan, ketika Indonesia masih gonjang-ganjing kedaulatannya -maka wajar
kalau paham nasionalisme menjadi solusi praktis ketika itu, ia mendeklarasikan
sikapnya sebagai binatang jalang yang mengambil jarak-diri dari kumpulannya. Ke
sana ke mari ia bicara tentang universalisme, dan terus terang menolak untuk
“melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat untuk dibanggakan.” Cukup
beralasan jika di kemudian hari, H.B. Jassin, rekannya sendiri, mencurigainya
sebagai corong kolonialis untuk mematahkan semangat nasionalisme ketika itu.
Tapi memang, meski anak jamannya, Chairil lahir di tempat yang keliru.
Dan karena itulah apa yang dilakukannya dalam kesusastraan kita, diyakini
sebagai revolusi. Sebab itu, secara implisit, Goenawan Mohamad pernah
menyatakan, berbeda dengan puisi ala melayu lama, dalam puisi bukan-syair
(tentulah yang ditunjuk di sini adalah tradisi puisi yang dimulai oleh Chairil
Anwar-pen), kita tak bisa lagi membedakan antara “bentuk” dengan “isi”.
Artinya, coba bayangkan, bagaimana kita menyampaikan gagasan dalam sajak Aku,
dengan teknik pantun yang masih membekas pada sajak-sajak Sitor Situmorang,
misalnya?
Pada gaya bahasa Chairil yang lugas dan impresif itulah kita menemukan kepaduan
dari semangat yang hendak diangkatnya. Dalam prosa, misalnya, aku biasa
menyandingkannya dengan gaya Budi Darma yang “serampangan”, dan justru inheren
dengan sisi kelam serta irasionalitas manusia yang hendak diangkat. Karena
itulah, dalam tradisi persajakan modern ala Chairil, teknik berbahasa menjadi
unsur yang krusial bagi pengungkapan kesan-kesan pribadi ke dalam teks yang
hendak dibaca khalayak.
Dan sekali lagi, Chairil memang anak jamannya yang tengah berpesta-pora dengan
keagungan rasionalismenya. Dan dengan kesadaran itulah ia berkarya.
Bagi penyair yang meninggal di usia muda ini, inspirasi bukanlah wahyu yang
jatuh dari langit. Ia tak pernah mempercayai seorang pengarang yang tengah
dimabuk inspirasi dapat melahirkan karya bermutu tinggi. Baginya, inspirasi
adalah sesuatu yang mesti ditimbang, diperiksa setiap sudutnya, atau bahkan
kadang harus dicampakkan jika tak bisa melewati seleksi rasio. Kata-kata mesti
dipahat dan diamplas sedemikian rupa, hingga mencapai bentuk pengucapan yang
puncak dan memonumen. Oleh karenanya ia bertekad menelusuri bahasa hingga ke
akar-akarnya.
***
Tahun 1949. Chairil menulis “hidup hanya menunda kekalahan/…/sebelum pada
akhirnya kita menyerah.” Tak lama kemudian ia dijemput ajal, meski beberapa
tahun sebelumnya, ia terlanjur bertekad untuk “hidup seribu tahun lagi.”
Maka membaca Chairil, paling tidak bagi saya, adalah menikmati ketegangan
antara dua kutub ekstrem tersebut. Pergulatan kehendak melawan takdir,
pergumulan kemungkinan melawan batas-batas manusia. Dan tepat pada titik itulah
Chairil mendedahkan eksistensialismenya.
Orang boleh bilang ia tak konsisten, jika pada suatu waktu ia
“Binasa-membinasa” dengan Tuhan, namun kemudian masih sempat bilang “Dalam
termangu aku masih menyebut nama-Mu/Biar susah sungguh/Mengingat Kau penuh
seluruh.” Atau bisa saja kita heran, di tengah penegasan individualitasnya
sebagai binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang, ia masih sempat bikin Persetujuan
Dengan Bung Karno serta sajak Krawang-Bekasi, yang tak pelak
dipengaruhi suasana Indonesia kala itu.
Tapi memang demikianlah Chairil. Seperti Sartre, baginya eksistensi manusia
bukanlah sesuatu yang selesai sekali didefinisikan. Hingga batas kematian, kita
masih mungkin saja mengeksploitasi segala kemungkinan. Maka sekali lagi, orang
boleh saja bilang ia pencuri, plagiat, bohemian, penerjemah, dan tentu saja,
penyair besar. Tapi lagi-lagi kita terlanjur percaya, ia pernah bilang; “Aku
mau hidup seribu tahun lagi.”
(pernah dipublikasi di http://
kacajendela.wordpress.com pada November 2008)
Baca: http://blogahmadmakki.blogspot.com/2011/01/chairil-anwar-puisi-revolusi-lalu-hidup.html
0 komentar:
Posting Komentar