Rabu, 09 November 2011

Kata Dia: Mahbub Adalah>>>

Biografi Mahbub Djunaidi
Oleh: tukangtidur

Sebelumnya saya tidak pernah mengenal lelaki itu. Jangankan mengenal, mendengar namanya saja belum pernah. Hidup saya sudah bising. Di kehidupan saya, orang-orang datang dan pergi semaunya. Muncul dan menghilang begitu saja. Sampai akhirnya saya pun menganggap bahwa pertemuan dan perpisahan itu sama saja. Tak ada yang perlu diistimewakan pada setiap pertemuan, dan tak ada yang perlu ditangisi pada setiap perpisahan. Pertemuan dan perpisahan adalah mahluk yang sama. Itu sebabnya, meskipun saya tidak mengenal lelaki itu, saya merasa biasa saja. Lebih tepatnya: tidak peduli. Lagi pula—dan ini yang lebih penting—lelaki itu sebenarnya sudah lama meninggal. Jadi, apa pentingnya mengenal seseorang yang sudah lama meninggal?

Saya tetap menjalani kehidupan ini seperti biasa, tanpa peduli dengan lelaki itu. Dan memang sudah seharusnya seperti itu. Hingga akhirnya segalanya pun berubah. Tiba-tiba saja saya jadi peduli dengan lelaki itu dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang dirinya. Semua perubahan itu bermula dari Ayah saya, yang mengaku kenal dengan lelaki itu.

“Ini dulu teman Ayah, Di.” Begitu kata Ayah saya, yang usianya sudah 77 tahun, sambil menunjuk sebuah nama yang tertera di dalam lembar halaman majalah sastra Horison. Nama itu bertuliskan: Mahbub Djunaidi

Di titik inilah akhirnya saya berkenalan dengan lelaki yang sudah lama meninggal itu, yang sebelumnya tidak saya kenal dan memang tidak pernah saya pedulikan. Seandainya Ayah saya tidak pernah berkata “Ini dulu teman Ayah, Di.” kepada saya, barangkali tulisan ini tidak akan pernah ada.

Ya. Lelaki itu bernama Mahbub Djunaidi. Ia adalah seorang jurnalis, kolomnis, dan sastrawan yang namanya sudah lumayan sering diperbincangkan. Ia lahir di Jakarta, 27 Juli 1933 dan meninggal di Bandung, 1 Oktober 1995. Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1948, tepatnya ketika masa revolusi fisik terjadi, Mahbub mengungsi ke Solo. Di kota ini ia lulus SD dan masuk SMP (kelas 1), juga sempat belajar di Madrasah Mambaul Ulum.

Mahbub Djunaidi adalah seorang sastrawan, meskipun ia tidak menulis banyak karya sastra, tapi kekhasan yang dimiliki olehnya bisa dikatakan tidak biasa. Novel pertamanya berjudul Dari Hari ke Hari, diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975. Novel itu berkisah tentang revolusi kemerdekaan yang tokohnya adalah seorang kanak-kanak. Dalam tulisannya yang berjudul Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan mengatakan bahwa penggunaan tokoh kanak-kanak di dalam novel Dari Hari ke Hari bisa ditafsirkan sebagai simbol bahwa Republik Indonesia yang masih baru lahir sama wujudnya dengan kanak-kanak yang polos dan lugu. Pengalaman-pengalaman revolusi yang spektakuler itu disejajarkan dengan pengalaman kanak-kanak yang mengalami perubahan dari saat ke saat hingga mencapai kestabilan.[1] Novel Dari Hari ke Hari menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1975.
Sampai di sini saya mulai tertarik dengan lelaki itu. Ya, ternyata lelaki itu memiliki sudut pandang yang tidak biasa, yang mungkin hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Menganalogikan Republik Indonesia yang baru saja merdeka dengan seorang kanak-kanak adalah sebuah analogi yang jarang sekali terpikirkan oleh orang banyak. Dan lelaki itu, Mahbub Djunaidi, telah melakukannya. Hebat. Begitu kata saya. Lantas saya pun kembali tercebur lebih dalam untuk kembali mengenal lebih jauh tentang lelaki yang ternyata dulunya adalah teman Ayah saya itu.

Setelah novel Dari Hari ke Hari terbit, Mahbub Djunaidi kembali menerbitkan novel berikutnya yang berjudul Angin Musim, diterbitkan oleh PT Inti Idayu Press, pada tahun 1985. Tidak kalah dengan novel sebelumnya, Angin Musim adalah novel satir yang tokohnya adalah seekor kucing jalanan. Dalam novel itu Mahbub dengan lincahnya menulis segala macam bentuk situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu (Orde Baru), lewat sudut pandang seekor kucing. Dilihat dari sudut ini, Agus R. Sarjono, penyair sekaligus redaktur Majalah Horison, mengatakan bahwa mungkin Mahbub Djunaidi adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan sudut pandang seekor binatang.

Dalam novel Angin Musim ini, saya tertarik dengan percakapan di bawah ini:

“Boleh saya ambil kucing ini?” tanya (dua orang berpakaian dril berwarna kuning—pen) kepada para pedagang yang terheran-heran.

“Dipersilakan dengan hormat,” jawab tukang daging.

“Lebih bagus lagi kalau kucing yang ada di pasar ini diangkat semua kemudian dicemplungkan ke dalam samudera,” kata tukang ikan.

“Makhluk keparat itu lebih jahat dari babi. Babi tidak mencuri, tapi kucing dari negeri mana pun bisa mencuri apa saja, termasuk sapu tangan kita,” sahut pedagang tahu.

“Apakah kucing ini kesayangan mandor pasar, atau barangkali Komandan Hansip?” tanya orang berpakaian dril itu.

“Kesayangan mandor pasar? Tentu saja bukan. Mandor pasar tidak sempat memikirkan apa pun kecuali memungut pajak tempel. Kucing itu yatim piatu dalam arti kata sebenar-benarnya. Pokoknya Bapak-bapak akan memperoleh pahala berlimpah-limpah jika sudi menyingkirkan binatang busuk itu dari sini,” seru mereka serempak seakan keluar dari satu tenggorokan.

Sampai di sini saya tertawa-tawa. Saya tidak pernah terpikir sampai ke situ. Kucing, yang konon katanya adalah binatang kesayangan nabi, ternyata tak lebih dari binatang celaka yang sangat dibenci oleh para penghuni pasar. Dalam novel itu diceritakan, setelah itu kucing sial itu pun dimasukan ke dalam karung semen untuk kemudian pertualangan pun dimulai.

Novel Angin Musim karya Mahbub Djunaidi ini membuat saya teringat dengan novel Animal Farm karya George Orwell. Jika Angin Musim tokohnya hanya seekor binatang saja, yaitu: kucing. Dalam Animal Farm bisa dikatakan tokohnya binatang semua. Animal Farm berkisah tentang para binatang yang hidup dalam sebuah Peternakan Hewan, yang semua binatang itu ingin melakukan revolusi bagi masa depan yang lebih baik, tapi sayangnya harus berakhir tragis dalam kendali kaum mereka sendiri. Animal Farm adalah fabel satir yang ditulis untuk mencemooh komunisme, yang dimana sebuah masyarakat hidup di bawah satu komando sang diktator yang semula dianggap sebagai pahlawan.

Dan saya tidak keliru. Ternyata Mahbub Djunaidi memang penggemar George Orwell, seorang sastrawan satiris yang terkenal di dunia. Bahkan, Mahbub Djunaidi pun pernah menerjemahkan Animal Farm karya George Orwell ini ke dalam bahasa Indonesia, yang judulnya menjadi: Binatangisme. Selain itu, ia juga menerjemahkan karya sastra asing lainnya ke dalam bahasa Indonesia, seperti: Di Kaki Langit Gunung Sinai (karya Mohamed Heikal, 1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (karya Michael H. Hart, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (karya Jules Verne, 1983), Cakar-Cakar Irving (karya Art Buchwald, 1982), Lawrence dari Arabia (karya Philiph Knightly, 1982), dan lain-lain.

Selain menjadi sastrawan, sebenarnya Mahbub Djunaidi adalah seorang jurnalis. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat (1960-1970), wakil pimpinan Kantor Berita Antara, wakil ketua PWI Pusat (1963-1964), ketua PWI Pusat (1965-1970), anggota Dewan Pers (1971-1978), dan ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1971-1979). Bahkan, pada tahun 1978-1979 ia sempat ditahan oleh rezim Orde Baru lantaran tulisan-tulisannya yang tajam.[2] Bahkan, ternyata Mahbub Djunaidi pun aktif di dalam dunia politik, dan pernah menjadi anggota DPR/MPR RI (1960-1970).

Sebenarnya Mahbub Djunaidi juga menulis cerpen, tapi sayangnya hingga sekarang cerpen-cerpennya itu belum pernah ada yang dibukukan. Ia juga menerbitkan dua buku kumpulan esai mengenai jurnalistik: Kolom Demi Kolom (1986), dan Humor Jurnalistik (1986).

Fiiiuuuhhh. Sampai di sini saya menghela nafas panjang. Ternyata lelaki itu memang sungguh luar biasa. Seandainya saya memiliki mesin waktu, saya ingin sekali kembali ke masa lampau agar bisa berjumpa dengan dirinya, untuk kemudian berkata kepadanya: “Ajarkan saya agar bisa menjadi orang hebat seperti anda”. Ya, saya ingin belajar banyak dari Mahbub Djunaidi.

_________________________________

[1] Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie Layun Rampan, Majalah Sastra Horison/Kakilangit 118/Oktober 2006. hlm 8

[2] Sastrawan, Jurnalis, Sekaligus Politikus, Korrie Layun Rampan, Majalah Horison, Kakilangit 118/Oktober 2006, hal 10.

_________________
"Menulis adalah bertengkar dengan diri sendiri."

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons