Lucunya
Asal-Usul Mahbub Djunaidi
29 May 2010
| 11:20
SAYA KENAL Mahbub Djunaidi setelah dia wafat.
Udah pasti kenal saya maksud mesti dilengkapi dengan tanda petik—biar tak ada
salah paham.
Satu kali, tahun 2004—saya sudah lupa tanggal
dan bulan—ketika melihat koleksi buku di perpustakaan pribadi seorang rekan
senior, mata saya menangkap sebuah kitab—kitab itu juga buku, kan?—bersampul
hitam bergambar seorang lelaki paruh baya memegang kepala. Judulnya: Asal-Usul.
Pengarangnya: Ya pastilah Mahbub Junaidi—terbitan Kompas.
Buku itu merupakan kumpulan tulisan Mahbub
Djunaidi ketika mengisi kolom Asal-Usul—yang hayatnya sama dengan Mahbub
sendiri: telah marhum—di harian Kompas edisi Minggu.
Saya baca halaman belakangnya—udah jadi
kebiasaan saya, kalau nengok buku itu, setelah halaman depan ke halaman
belakang: yang biasanya berisikan testimoni tokoh tentang buku itu, atau
keterangan lain dimana perlu tentang buku itu—saya langsung jatuh cinta.
“Ini buku bagus!” pikir saya.
Tanpa pikir panjang, saya meminjam buku itu.
Rekan senior saya itu tak mengijinkan, karena tahu kebiasaan buruk saya: suka
lupa memulangkan buku yang sudah dipinjam—lupa apa “lupa”? Tapi dengan segala
cara saya rayu. Saya bilang kalau saya lagi butuh bahan-bahan dari Mahbub
Djunaidi untuk skripsi. Akhirnya di luluh. Walaupun saya yakin dia tahu, orang
ini saya ini mahasiswa hukum dan pernah bilang ke dia kalau saya meneliti
tentang “Otonomi Desa”—apa hubungannya dengan Mahbub Djunaidi dengan kolom
Asal-Usul-nya?
[sambil lalu: dan kekhawatiran rekan saya itu
benar. Sampai catatan ini saya buat, buku itu masih ada di tangan saya. Dia
sendiri sepertinya udah lupa kalau pernah meminjamkan buku itu: wong tak pernah
ditanya-tanya lagi, kemana buku itu? lagi pula dia sendiri pernah berujar:
“Orang paling bodoh itu yang meminjamkan buku kepada orang lain. Ada yang lebih
bodoh lagi. Siapa? Yang mengembalikan buku yang dipinjamnya dari orang lain”.
Hahaha, tapi saya tidak sedang mempraktikkan ujar-ujaran kawan saya itu, sama
sekali karena: lupa—lupa apa “lupa”?]
Kembali ke Asal-Usul Mahbub Djunaidi. Dalam
pengantar yang dibuat seorang rekan Mahbub, Said Budairy, diterangkan kalau
Mahbub itu kelahiran 22 Juli 1939 (edit:
yang benar berdasarkan keterangan keluarga adalah 1933, demikian
diperbaiki)—dari keluarga yang kental dengan tradisi NU. Sejak kecil ia sudah
terbiasa menulis. Saat SMP cerpennya telah dimuat di Kisah dan langsung
mendapat komentar dari HB Jassin yang terkenal sebagai Paus Sastra Indonesia
itu. Sewaktu SMA ia menjadi pemimpin redaksi majalah sekolahnya: Siswa—ia
sendiri yang menggagas agar sekolah mempunyai berkala ini.
Mahbub juga terkenal sebagai seorang
politikus. Seorang organisator. Ia pernah menjadi wakil rakyat (legislatif) di
DPR-GR—turut membidani kelahiran UU Pers pertama yang kemudian dijadikan orde
baru untuk mengontrol kebebasan pers di negeri ini. Ia juga aktif di organisasi
NU—bahkan sejak masih lagi bersekolah.
Apa yang istimewa dari tulisan-tulisan (boleh
baca: Asal-Usul) Mahbub? Ia lihai memasukkan humor, satire, sindiran dalam tiap
tulisan. Selalu segar. Dan yang penting selalu berisi kritik politik, sosial,
budaya, dan sisi kehidupan manusia lainnya. Udah pasti semua tulisan itu bisa
begitu karena kenyangnya Mahbub akan pengalaman: ya menulis ya di dunia
sosial-politik-budaya-agama-dan apa lagi itu.
Dalam tulisan “Kecuali” misalnya Mahbub
menyindir soal (PT) Kereta Api di Indonesia yang telah memonopoli
perkereta-apian. Karena saingan, akhirnya berpengaruh pada pelayanan. Mahbub
bilang di Indonesia ini tak ada yang lestari—bahkan seorang bernama Sri Lestari
sekalipun: pacarnya berganti-ganti (tak lestari), juga hobbynya dari melihara
kucing sampai kadang kambing (tak lestari) kecuali—mungkin karena ini judulnya
kecuali—ya kecuali: nasi goreng di restorasi kereta api. Nasi goreng di
keretapi api itu dari dulu sampai sekarang rasanya tetap begitu—tak
berubah-ubah (lestari).
Mahbub Menulis:
“… Lihat saja nasi gorengnya. Apa yang
dimakan nenekmu dulu persis sama dengan rasa nasi goreng yang kamu makan
sekarang ini. Tidak meleset barang sedikit pun. Ada gundukan nasi, ada sepotong
kerupuk dibungkus plastik, ada acar ketimun, dan ada sebutir cabe rawit, ada
telur mata sapi, dan ada sesendok kecil saus tomat.”
“Dan rasanya?” tanyaku.
“Netral. Artinya: tidak pedas, tidak asin,
tidak manis, tidak pahit dan juga tidak gurih. Walhasil, singkat kata tidak ada
rasa apa-apa.”
“Apa maksudmu tidak ada rasa apa-apa?”
“Ya tidak ada rasa apa-apa,” jawab kawanku.
“Juga tidak ada rasa nasi goreng?”
“Juga tidak ada rasa nasi goreng.”
“Tapi namanya kan nasi goreng?”
“Ya, namanya memang nasi goreng.”
“Kok begitu?”
“Ya begitu. Namanya saja sudah monopoli,”
jawabnya.
“Untuk selamanya begitu?”
“Ya untuk selamanya. Itu sebabnya kusebut
lestari. Satu-satunya yang lestari di atas bumi ini.”
Mahbub juga mengkritik soal kampanye pemilu.
Tulisnya: “Berbeda dengan nasi dan roti, program itu tidak pernah basi-basi.
Kapan saja dibaca, kedengarannya senantiasa baru. Apalagi, tidak ada program
yang jelek, semua program bagus-bagus belaka”.
Macamnya kritik Mahbub ini masih relevan.
Sampai sekarang pun kampanye pemilu di negeri ini tak pernah ada yang jelek.
Semuanya bagus. Foto-foto calon pemimpinnya juga bagus. Yang jelek cuma realisasi
janji-janji kalau sudah terpilih nanti. Meminjam Harry Roesli: seperti tukang
sepatu: janji minggu jadi rabu.
Banyak tulisan lain yang disampaikan dengan
satire, humor, kocak, jenaka dalam Asal-Usul. Tapi semuanya adalah (auto)
kritik. Tentang negeri bahari misalnya—Mahbub seperti Pramoedya A. Toer selalu
mengingatkan kalau Indonesia ini negeri bahari bukan agraris: yang merupakan
warisan kolonial, untuk kepentingan kolonial sendiri. Dan ia selalu membela
orang pinggiran: gelandangan pengemis misalnya, ia tolak perda yang
mengkriminalisasi gelandangan dan pengemis—menurutnya itu bertentangan dengan
konstitusi.
Cara ini mestinya dipilih Mahbub karena waktu
Orde Baru masih berkuasa. Rezim yang anti-kritik. Kalau ditulis dengan lugas,
sudah pasti ia masuk bui. Bahkan ini benar pernah terjadi: karena tulisannya
dan kegiatannya pada pemilu 1977 memberikan ceramah-ceramah soal kritiknya
terhadap sistem pemilu dengan [hanya] tiga partai peserta pemilu itu. ia
dipenjarakan oleh Soeharto tanpa persidengan Meja Hijau.
Mahbub menulis hingga akhir hayat di
Asal-Usul. Ia wafat 1 Oktober 1995. Darinya kita bisa belajar tentang bagaimana
seharusnya seorang penulis, masyarakat sipil, cendikiawan: selalu beroposisi
dengan kekuasaan, walaupun taruhannya kemudian kebebasan diri sendiri. Salute
untuk [alm] Bung Mahbub! [*]
Asal-Usul
Mahbub Djuaidi: seringkali penuh humor, lucu, satire, menyindir: tapi satu
penuh (auto) kritik bagi bangsanya (sumber:www.jurnalismewarga.com)
0 komentar:
Posting Komentar