Mengingat Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi
29/07/2011 14:05
Jakarta, NU Online
Gabungan forum study mahasisawa
Ciputat mengadakan diskusi tentang Pendekar Pena Mahbub Djunidi pada Kamis,
(27/07). Acara berlangsung di Asrama Putri PMII Cabang Ciputat pada pukul 19.30
sampai 23.30. Dimulai dengan tahlilan. Kemudian meniup lilin sebagai hari ulang
tahun Mahbub Djunaidi yang ke 78 oleh Profesor Chotibul Umam, sahabat Mahbub
sewaktu di PB PMII dan surat kabar Duta Masyarakat.
Diskusi dengan tema “Gerak dan Mata
Pena Mahbub Djunaidi” diawali dengan dibacakannya salah satu esai Mahbub
berjudul “Kretek” yang dimuat di rubrik Asal-Usul harian Kompas oleh Hafiz
Kurniawan. Dilanjutkan testimoni, Chotibul Umam. Ia mengatakan, Mahbub adalah
orang NU yang langka dan melampaui zamannya. Ia pejuang yang pintar menulis.
Ciri khasnya, ia menulis sekali jadi. Hasilnya alamiah dan spontan.
“Jika ada wartawan menulis, kemudian
membuang tulisan itu, pak Mahbub akan marah. Menulis itu harus sudah matang
dalam pikiran,” tambah kakek kelahiran Kudus 7 Juni 1936 ini.
Chotib menambahkan, Mahbub adalah
seorang kutu buku. Buku apa pun dibacanya. “Saya pernah menemani pak Mahbub
dalam perjalanan ke Mesir. Dia membeli lima buku dan menghabiskannya dalam
perjalanan. Setiap buku yang habis dibacanya kemudian ditandatangani.”
Diskusi yang dimoderatori Abdullah
Alawi ini dihadiri sekitar 50 orang peserta dari berbagai forum study Ciputat,
yaitu Piramida Circle, Makar, Mahakam, dan Ersous. Menghadirkan dua narasumber:
Amsar A. Dulmanan dan Ahmad Makki.
Amsar dari kelompok Kajian 164,
mengatakan gerak perjuangan Mahbub dilakukan melalui PMII, NU, partai politik.
Kemudian mengawalnya dengan tulisan. Gerak dan menulis jadi satu. Cita-citanya
adalah Indonesia yang bebas dari ketidakadilan, kebebasan pers dan menjaga
pluralitas.
Amsar juga menambahkan, Mahbub
adalah seorang religius. Dia sangat mencintai pesantren dan menghormati kiai.
Meski dia juga tidak suka dengan feodalisme.
Pembicara lain, Ahmad Makki, dari
Hystoria Online, menggeledah Mahbub lewat esai-esainya. Menurutnya, Mahbub
selalu memandang realitas dari sudut pandang orang yang tidak tahu. Bahkan
lugu. Struktur-struktur yang ada, dianggapnya sesuai dengan prosedur. Dibumbui
humor, pembaca diajak tamasya sambil ketawa-tawa. Tapi di akhir paragraf,
pembaca bisa terbengong dan kaget. Mahbub menggerogoti jalinan yang dibangun,
kemudian meruntuhkannya, dengan hanya satu pertanyan dan kadang membenturkan
dengan kenyataan.
“Dalam esai Mahbub, terdapat
pemberontakan literer. Ia tak ambil pusing dengan EYD,” tambah aktivis
Koin Sastra Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H. B. Jassin ini. “Tapi
pelanggaran Mahbub bukan sembarang pelanggaran. Ia telah memenuhi tagihan
sertifikat licentia poeitica dengan impas. Karena itulah, Mahbub lebih senang
dipanggil sastrawan.”
Makki menambahkan, esai Mahbub
menciptakan metafora-metafora yang khas, orisinal dan sublim. Karena itulah
Mahbub adalah penyihir kata.
Tanya jawab pun berlangsung dengan
seru. Beberapa orang mengakui sebagai mualaf Mahbub Djunaidi dan
terpingkal-pingkal ketika membaca esainya. Mereka mengharapakan supaya diskusi
tentang ini diteruskan dan sama-sama menginventarisir buku-buku Mahbub yang
semakin langka.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Abdullah Alawi
Sumber: http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/33206/Warta/Mengingat_Sang_Pendekar_Pena_Mahbub_Djunaidi.html
0 komentar:
Posting Komentar