Sabtu, 05 November 2011

perahu dan labuhan semu

Igauan (Ode Kita)


Djenaar, bukankah lama luka itu menjadi milik kita? sepotong yang lalu kita nikmati berdua. Purnama suram itu lekang juga akhirnya. Hingga kapan euphoriamu kan berakhir? khayalku telah usai lama bersama tumbuhnya bulan baru, sebab aku tlah letih bersama luka yang dulu
kita gurat bersama. Naar, purnama suram itu telah hilang tertelan waktu. hijau dan ungu__

 

tentang luka dan purnama itu rianda, terlalu nyaris untuk aku narasikan menjadi sajak

 biar kau gurat kata-kata indah bermetafor, terlalu naif bila darah yang mengalir di jantung aku tumpahkan di kertas yang kau basahi dengan air mata. Aku tahu, kau ingin sembuh dari kecanduanmu pada luka. dan lebih lagi aku, serasa ingin terkubur di bawah pohon tilia bersama Majnun!

 

Naar, bimbing aku menemukan diriku kembali.. Sebab kini aku tengah hilang dalam diriku sendiri.

 

tidakkah gelisahmu itu sudah ada sejak beberapa waktu silam, sejak kau terbiasa bercakap apa saja dengan bulan sabit? dan sudah banyak waktu dan tempat kau jadikan persaksian meski tanpa monumen atau prasasti, untuk manjadi dirimu sendiri dengan siapa saja yang kau adakan dalam dirimu.


Yogyakarta, Oktober 2010
 
Sebelum Kau Pergi Tiba Tiba (Kembali)

1.      si bengal hitam! ya, dia yang masih misteri di ujung kukumu. seperti aku yang nakal mengenal warna jemari lancipmu_ ah, kita tidak boleh begitu_sebab labirin selalu sigap menangkap jejak!
2.      impian dan harapan tak selamanya indah, laiknya bebunga dan matahari yang kapan saja bisa layu. Rianda menghilang setelah tidur sebentar. Tidak pulang-pulang.
3.      perempuan yang tak pernah aku pahami. Penari dalam imajinasi jalangku, biarlah kata-kata hilang bersama angin dendam, bukankah kau masih punya kekuatan untuk terkenang. bila rasa hendak menangis, luapkanlah, biarlah air mata mengalir mencari genangan menemu kenangan dalam ingatan.

Yogyakarta, agustus 2010

Setelah Kau Kembali (Pergi)

bukan sabutir purnama masalahnya, bukan pula kucing hitam bengal nakal
tapi rahasia yang tak seutuhnya tersembunyi rapi_
aku suka si bengal hitam, aku tak tau apa yang tersembunyi__ aku mencari sesuatu yang masih misteri_
sebab kita sama-sama tahu, bahwa cinta adalah luka sederhana yang perih luar biasa__ maka dengan luka aku menuju hatimu__

Yogyakarta, april 2010


Demi Masa

; keyakinan ini masih belum sepenuhnya tersepakati hati, nurani dan akal bahkan
setajam lidah yang fasih mengerat kalimat kalimat syahdu sendu, tumpul oleh waktu
yang sublium dalam rindu yang beludru. Pertanyaan gombal berselubung
dalam syaraf otak, mengikat sepasang bibir kaku terpaku pernyataan absurd
pada setiap jengkal terjagal pilihan hidup yang ambigu

;tidak selamanya sepi sunyi sebatas kesendirian tampa suara dan bunyi. Hakikatnya
adalah raga tertinggal segenap jiwa menemui sukma nun jauh dari pandang mata,
bahkan bukan tanpa kesadaran melainkan keyakinan harap dan impian
            ingin kutakar waktu berdua biar tak lagi ada angin cemburu lesat di benak
            laiknya mula asal kau aku bertemu dalam ragu dengan kekakuanku
            menyapa-bersitatap di bawah pohon akasia; bulan tampak kebiru biruan
            lantas kesadaran mengajariku menghargai kesetiaan sebagaimana engkau
            mengakrabi dengan sambil tersenyum manyun dan aku hanyut oleh cerita lukamu

;sebelas tetes air mata tumpah setelah kau berkabar sakit, dan kau berpura tak ada;
memintaku tak kembali hanyut, pun aku kembali sendiri bahkan kian dalam, tenggelam.
Sehabis kata, kau malah tersenyum setelah kau bilang tak terjadi apapun. Namun kenapa
Kau isyarati aku dengan sembilan tanda yang serupa. Bicaralah biar aku tahu sesuatu,
walau sedikit aku paham tentangmu bahkan melebihi pengertianku pada diriku sendiri

Yogyakarta, 15/18/21, November 2010

Benang Merah Warna

/benang/ siratan titah terkambang dalam genang nira cakrawala
Usai kau ikrarkan gendam asmara lewat mantra kehidupan
Dengan orkestra kematian

/merah/ sinar memar tergurat pena. Matahari tenggelam. Arwah kematian bertembang
 syair kerinduan

/warna/ langit berselendang. pelangi haus rebahi danau; di muara, sungai bersetubuh
_anak bangau belajar mencelup setengah paruh

Madura-Yogyakarta, Juli ’08- Desember ‘10

(Ber) Senandung

/I/ kembang mayang hatimuhatiku masihkah alirkan nira
Di bibir cahaya pada gelap

/II/ do’a yang terpanjatkan adalah kebajikan hamba pada Tuhannya
Usah kau harap cinta menjadi cahaya jika enggan nyalai pelita
Sebab cinta mencintai; cinta sebuah dosa:
Berawal dari senyum dan kedip pahit lebur dalam manis yang nyaris
Kau aku terbuai hingga candu rindu nelangsa
tentang hakikat makna, bibir tak kelu menafsir gelap dan purnama
Bahkan tak akan tersiaka waktu mengeja hari dan matahari
Setelah sekian, segala bertepi di peralihan sunyi

/III/ sepenggal kalimat sumpah bergetar ketika cinta menjerit tampa arti
Ingin aku menyapa hati dan melunasi janji
Namun waktu tergesa menggiring hidup dan kehidupan sejati

/IV/ sudah kubilang jangan kau lakukan, masih saja kau tak mahu tahu
Bahkan tak kau gubris, kau anggap aku ini apa?
Gonggongan anjing di malam kelam? Rupanya matamu kian geram.
Baiklah, sekejap kedip aku akan raib dari hidupmu

Sepanjang jalan kau aku, 2008-2010

Pun (di) Warung Kopi

Kemarilah minum kopi di meja yang sama untuk saling bertukar cerita lama,
cerita bangsa terjajah (yang katanya merdeka, masih sengsara)
marilah kita bersulang untuk saling menikmati dinginnya malam purnama
di tengah tangis jerit rakyat jelata  di  negeri sendiri yang tinggal nama
biarlah mereka berpesta  istana, menikmati kemegahan atas nama bangsa.
namun sehabis kita nikmati manisnya kopi, mari kita bangun  bersama
untuk berteriak, "LAWAN!" demi bumi pertiwi. Di sini kita lahir dan punya nama

Yogyakarta, Juli 2010

Perahu dan Labuhan Semu

angin pekabar tanpa musim menyapa
mendayung perahu ke tengah samudra seribu rindu
air laut lebur dalam asin air mata
membuat cerita melukis derita
tentang cinta yang buta
terhempas di pelabuhan tua tak bersejarah

lantaran kompas yang terlepas genggaman
hati gamang melempar kail kenangan
jauh sauh tak terbayang
entah kemana ragamu menghilang
sedang impian yang tersirat di tepian
rapuh di malam persaksian
raib bersama kelam bintang-bintang 

aku terenyuh menatap hati terpatri sunyi
sepi yang berdesah dengan nafas sengau
dan labuhan tak mau bicara padaku
pada perahu yang berlabuh

demi rindu rianda, yogyakarta 13 november 201


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons