Sabtu, 22 Oktober 2011

Musyawarah Kopi

Cerpen: Bilal bin Leman ”Kemarilah minum kopi di meja yang sama untuk saling bertukar cerita lama, cerita bangsa terjajah (yang katanya merdeka ternyata masih sengsara,) marilah kita bersulang untuk saling menikmati dinginnya malam purnama di tengah melarat rakyat jelata di tanah kelahirannya yang tinggal nama dan biarlah mereka berpesta di istana, menikmati kemenangan atas nama bangsa. namun sehabis kita nikmati manisnya kopi, mari kita bangun bersama-sama dengan tangan terkepal. Sebab, disinilah kita lahir dan punya nama.” Lelaki yang akrab dengan sebutan “selendang” itu, tertegun setelah membacakan puisinya di tengah lingkaran perkumpulan orang-orang malas di kota yang penuh dengan tempat-tempat wisata, kota yang terkenal dengan sebutan kota para penulis dan kota Gudeg itu. Ttepuk tangan dan sorak sorai begitu kerap sahut menyahut menyambut suaranya yang unik dan khas ketika membacakan puisinya. Tetapi, saat itu lain dari biasanya selendang baca puisi. Suasana yang berbeda, hidup dan tegang dengan moment puitik dari bait-bait sajak yang disyairkan. Sudah sejak sebelum ia bersiap diri dipanggil oleh pembawa acara, raut wajahnya kian gelap di tengah cahaya yang tamaram dengan hanya beberapa nyala lilin. Kini, lebih lagi setelah acara GASEBU ‘garda seni dan budaya’ selesai, acara yang di adakan oleh orang-orang malas yang kerjanya jagongan dari warung kopi yang satu ke warung kopi yang lain di kota yang istimewa ini. Selendang tampak kian larut saja dalam gelisahnya, terlihat dari kerut dahinya, ia sedang memikirkan sesuatu yang bergejolak dalam hati dan batinnya. Entah gerangan apa yang telah menjadikan persoalan dalam diri selendang, sehingga menjadi semurung malam itu. Aura lesu di wajah selendang masih juga tergambar, seperti ada persoalan di kepalanya, sampai pada sore besok harinya setelah baca puisi. Dia masih saja diam dan cuma menatap kosong ke depan di tengah perkumpulan teman-temannya di sebuah bangku panjang di warung kopi, tempat biasa selendang dan temannya, menukar tawa dan cerita. Lantaran sudah sama tahu dan sama rasa, teman-temannya tidak mengusik ketenangan Selendang dalam lamunannya itu. Mereka asyik juga menikmati percakapan edan dengan secangkir kopi masing-masing dan sebatang rokok Dji Sam Soe. Namun, tiba-tiba suara selendang memecah suasana yang ramai oleh candaan candaan itu. Di berucap pelan, “orang-orang banyak bertanya padaku, tentang Pini, perihal perempuan jadah dan janda kembang itu. Perempuan tegar yang sanggup menghidupi dirinya sendiri dengan kerja kerasnyanya yang tidak pernah surut sebagai penjual buku di event-event besar bazar atau gerebeg buku di berbagai kota di negeri ini.” Tuturnya pada mahrus yang juga selevel dengan Pini. “Alah kau itu,bung! Sudahlah, tak usah kau risau dengan desas desus di luar itu!” tukas Mahrus ringan, seolah tidak terjadi apa-apa. “Bukan sebab desas-desus yang kau maksud, yang aku risaukan sekarang. Hanya saja, aku risih jika Pini selalu saja menjadi bahan perbincangan di warung-warung kopi. Padahal, Pini tidak bersalah sama sekali” “Lantas apa hubungannya dengan awakmu iku?,” tanya Mahrus sambil tertawa kecil. “Kau sudah tahu sendiri sob, antara aku, kau, dan Pini masih ada ikatan keluarga, bukan!” “Ya, aku tahu betul itu. Terus apa yang membuatmu serisau itu?” pertanyaan Mahrus semakin menukik pada Selendang. Sebatang rokok ia sulut lagi. Seruput demi seruput telah mempertampak dasar dedak kopi di cangkir yang ia pegang. Selendang terdiam sejenak sambil memutar-mutar rokok di jari jemarinya. “Begini sob, semalam pamanku nanya padaku perihal acara tasyakkuran yang akan dilaksanakan oleh Rojali...” Mahrus manggut-manggut saja sambil menghisap asap rokok dalam-dalam, pun selendang menyulut batang rokok, dan “...dan kabarnya, Riki juga akan mengadakan tasyakkuran yang sama di lain waktu yang dekat ini” selendang mengutarakan benih-benih risau di kepalanya . “Terus, terus bagaimana selanjutnya?” “Kau itu pura-pura tidak tahu atau mau mengujiku?” “Benar, aku memang tidak tahu dan sengaja tidak ingin tahu!” “Ya, bukan maksud aku ingin mengajakmu untuk memikirkan persoalan keluarga yang disana itu. Aku hanya ingin berbagi resah padamu. Syukur kalau kau sudi mendengarnya.” “Lalu, apa yang bisa kau perbuat dalam kereshanmu itu?” “Bikin puisi dan membacakannya, lagi pula tidak ada baiknya terlalu ikut campur persoalan orang lain” Lalu, mahrus tak mengubris lagi, Selendang juga melamun lagi. Percekapanpun mengalir kembali bersama puisi yang dibacakan Selendang tadi malam. Yogyakarta, Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons