Oleh Dedy Gunawan Hutajulu
Mengapa sebagian besar pemuda sekarang, khususnya para sarjana kerap
memilih pekerjaan hanya didasari ambisi meningkatkan taraf hidup dan alasan minat
dan bakat. Hanya sedikit yang mau memenuhi panggilan Tuhan—tanpa mengabaikan
minat dan bakat serta kebutuhan. Sisanya enggan bekerja ‘atas nama’ Indonesia.
Pemberantasan korupsi, mentalitas pegawai murahan, ketiadaan visi para
pemimpin, rendahnya moralitas DPR, kemiskinan struktural, kita akui, rentan
mengoyak nasionalisme generasi sekarang. Harapan, efektivitas, visi, dan
kepemimpinan yang visioner adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk
membangun nasionalisme bangsa ini.
“Tidak ada yang
lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas kemerdekaan Indonesia”. Sengaja saya kutip pendapat Soe Hoek Gie[1] ini karena mengingat dan mencermati perkembangan nasionalisme generasi
sekarang. Dari kutipan ini, pikiran saya mulai bertanya-tanya: “Apakah saya dan
sekian juta anak muda saat ini masih memiliki rasa cinta terhadap Indonesia
tercinta ini?”
Mengejar Uang
Berbekal
pertanyaan sederhana ini, sayapun bertanya-tanya kesan kemari, kepada beberapa
teman saya (para alumnus perguruan tinggi). Pertanyaan saya seputar kesiapan kerja mereka kelak sesuai jurusan dan
kompetensi mereka. Saya menemukan aneka rupa jawaban, mulai dari yang benci
kerja di desa, sampai yang hanya puas jadi kuli. Padahal, punya gelar sarjana.
Melalui internet saya juga tahu, bahwa rasio jumlah sarjana pertanian yang
bekerja di sektor perbankan lebih banyak ketimbang yang terjun ke desa-desa.
Beberapa alumnus keperawatan punya pendapat senada, lebih tertarik bekerja di
kota dari dan tak siap ditempatkan di desa terpencil, selain alasan
meningkatkat taraf hidup. Mereka enggan menghadapi ketidakpastian hidup di
daerah terpencil.
Sebelas-dua belas
sarjana kimia yang cukup puas hanya bekerja di pabrik sabun dan kosmetik. Yang lain, merasa berbahagia bekerja di perusahaan Telkom, lagi-lagi
alasannya demi uang. Yang lebih geger lagi, hampir semua teman saya alumnus
ilmu pendidikan dari salah satu kampus di Medan, sangat terobsesi dan berambisi
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dengan dalih gajinya lumayan, alasan
kesejahteraan dan jaminan hari tua, walau kerjanya ‘biasa-biasa’ saja.
Saya setuju-setuju
saya, jika banyak orang berminat menjadi PNS alias abdi negara. Dengan catatan,
mereka tulus dan berani menantang diri untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
baik. Mereka yang mau membawa perubahan, harus sudah matang dan tak boleh anut
ubyung. Langkah yang cukup berani, memasuki sistem yang notabene
benar-benar kotor. Maka bagi saya, pilihan menjadi PNS amat mulia. Ironisnya,
tidak demikian yang terjadi dibenak banyak pihak, apalagi anak muda sekarang.
Tentulah ini patut dicemasi bukan?
Lebih
menjengkelkan lagi, ada orang tua yang tak sudi menyekolahkan anaknya sampai
perguruan tinggi, bukan karena ketiadaan uang, tetapi berpikir bahwa setamat
SMA anaknya bisa segera melamar PNS. Si orang tua itu sudah menyiapkan uang
puluh jutaan rupiah demi mendapatkan kursi PNS untuk anaknya itu. Inikan
konyol. Padahal, dengan uang sebanyak itu, sudah bisa membiayai anaknya kuliah
sampai profesor. Akhirnya, pemeo: “Apa yang dicari orang? Uang !”, kebenarannya
semakin nyata.
Lantas apa yang
salah? Dari kacamata mulianya sebuah profesi, tentu tidak ada yang salah dengan
pilihan mereka itu. Namun, jika dipandang dari kacamata Bapak Samuel Tumanggor[2], tentulah kita mulai merenung dan bertanya, dimana saya berdiri? Beliau
mengatakan, bahwa kita harus bekerja demi Indonesia. Jadi, pertanyaan
yang lebih pas mungkin seperti ini: ”Apakah saya akan sama dengan kebanyakan
orang saat ini, bekerja hanya demi rupiah?”
Alasan Alih profesi
Ada beberapa
alasan mengapa seseorang beralih profesi, diantaranya, ingin meningkatkan taraf
hidupnya, alasan minat dan bakat, dan ingin memenuhi panggilan Tuhan. Poin
ketiga, inilah yang bapak Samuel Tumanggor maksud dengan bekerja demi Allah dan
demi Indonesia. Saya tak habis pikir, mengapa sebagian besar pemuda sekarang,
khususnya para sarjana kerap memilih pekerjaan hanya didasari ambisi
meningkatkan taraf hidup dan alasan minat dan bakat. Hanya sedikit yang mau
memenuhi panggilan Tuhan—tanpa mengabaikan minat dan bakat serta kebutuhan.
Sisanya enggan bekerja ‘atas nama’ Indonesia.
Refleksi 65 tahun
kita sudah merdeka, jarang kita temukan kaum muda mau berkarya demi Indonesia.
Tak banyak guru yang semangat mengajar di sekolah, berangkat pagi-pagi dengan
mengatakan :”Ini demi pendidikan, demi Indonesia!”. Kalau kita telisik tubuh
birokrasi kita, kita akan melihat birokrasi yang kian gemuk, sehingga sulit
bekerja melayani masyarakat. Jamak kita temukan para birokrat bersantai di
kursi malas, baca koran sambil minum kopi pada jam-jam kerja, meski memang
tidak seluruhnya demikian, sebab ada saja birokrat yang sejati, yang setia
mengabdikan hidupnya bagi negeri ini dengan sepenuh hati.
Tapi, fakta
menunjukkan bahwa demokrasi kita kian murung, sulit menemukan seorang birokrat
sejati yang setia membawa visi dan integritasnya, serta yang tak kenal kompromi
ditengah iklim yang penuh dikotomi. Setiap ruang pelayanan publik terasa sepi
pelayan yang mau menghambakan diri. Pemimpin yang melayani dan pelayan yang
memimpin (yang semestinya) masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Di sisi lain, tak
sedikit mahasiswa berpikir kuliah, memilih jurusan yang layak jual, yang banyak
diminta pasar, berpikir cepat tamat, cepat kerja dan karier menanjak. Lalu,
kawin dengan istri cantik, misipun berakhir. Ini tentu mimpi yang amat dangkal.
Padahal, di tangan pemuda, kususnya mahasiswa yang inteleklah masa depan bangsa
ini digantungkan.
Mentalitas Gayus
Cerita konyol ini
belumlah tamat. Ada kisah nyata yang lebih seru lagi, tentang nasionalisme.
Yaitu soal Gayus H.P Tambunan, mantan pegawai ditjen pajak golongan IIIA (kita
sebut saja dengan Gayus T). Anda pasti kenal siapa dia. Sosok yang fenomenal
karena begitu kontroversial. Banyak misteri yang muncul begitu namanya
tertangkap media sebagai tawanan ‘korupsi’. Bukan hanya sekali, tapi
berkali-kali menjadi kontroversi. Mulai dari penyuapan, pencucian uang,
memalsukan surat sampai ’bebas’ keluar masuk penjara.
Kita masih ingat
kontroversi soal ‘kunjungan’ Gayus T ke Bali. Kontroversi terkuak setelah Gayus
T mengaku bahwa foto “mirip” dirinya itu, adalah benar-benar dirinya. Pengakuan
tersebut terlontar dari mulut Gayus T secara langsung dalam persidangan
terhadap dirinya di pengadilan Negeri Jakarta Selatan (15/11). Ia mengaku bahwa
ia ke Bali menyaksikan pertandingan tennis di Nusa Dua. Padahal, sebelumnya,
Gayus T tetap bersikukuh menyangkalnya (kompas, 16/11).
Karena santernya
kasus Gayus T, maka “pengakuan Gayus T” menjadi ‘buah bibir’ banyak orang. Tak pelak, berita itupun memenuhi halaman utama di berbagai
media. Berawal dari ketidaksengajaan, berujung jadi kehebohan.
Berkat dua orang photographer kompas, yang menjepret pertandingan tennis, tapi,
sebuah foto bergambar seorang penonton “mirip Gayus T” terasa janggal bila ada
dipertandingan tersebut, sebab Gayus jelas-jelas berstatus tahanan. Tambahan
lagi ternyata gayus bukan maniak bulu tangkis. Lantas, ngapain dia ke sana?
Namun, yang mau
kita persoalkan bukan soal foto tersebut, tetapi soal efek dari misteri foto
“mirip Gayus T” itu yang begitu santer, yakni menggambarkan mentalitas bangsa.
Mentalitas yang begitu bobrok. Sudah kelewat batas !
Wajar saja banyak
masyarakat bertanya-tanya: Mengapa seorang tahanan terdakwa kasus korupsi, bisa
melenggang ke pertandingan tennis? Bagaimana mungkin seorang Gayus T, pegawai
pajak golongan bawah, yang dipenjara di rutan, yang katanya begitu ‘ketat’
penjagaannya, tetapi bisa keluar-masuk bui bahkan sampai 68 kali. Bukankah ini
aneh? Apakah Gayus T menyogok penjaga? Apakah penjaga begitu mudah disogok?
atau Gayus T sengaja mengancam petinggi polisi agar diberi kebebasan dan jika
dia tak diberi izin akan membukakan siapa-siapa saja yang tersandung dengan
dia? Ketiga pertanyaan ini kerap menghiasi benak kita semua.
Tapi, yang lebih
aneh menurut hemat saya, mengapa begitu mudahnya kita menuding habis-habisan,
mengecam sekeras-kerasnya, bahkan sampai menghakimi Gayus T ? Sehingga tanpa
kita sadari, kita lupa bahwa masih banyak koruptor yang sesungguhnya lebih
parah dari Gayus T, tapi tidak kita pikirkan dan tidak kita kecam.
Beberapa nama
terdakwa yang terkait praktek mafia pajak sesuai data yang dilansir Litbang
Kompas (kompas, 13/11), antara lain: Maruli Pandapotan Manurung (Mantan rekan
Gayus T di ditjen Pajak, terdakwa terkait penanganan keberatan pajak PT Surya
Alam Tunggal, oleh PN Jakarta Selatan, 19/10/2010), Humala Napitupulu (Mantan
rekan Gayus, terdakwa kasus yang sama dengan Maruli manurung, di sidangkan di
PN Jakarta Selatan pada 27/10/2010 ).
Beberapa nama
mafia hukum lainnya, seperti Alif Kuncoro (pengusaha, didakwa menyuap penyidik
Polri dan sudah divonis 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan,20/9/2010),
Komisaris Arafat Enanie (penyidik Polri, didakwa menerima suap, divonis 5
tahun oleh PN Jakarta Selatan, 20/9/2010), Ajun Komisaris Sri Sumartini
(penyidik Polri, didakwa menerima suap, divonis 2 tahun oleh PN Jakarta
Selatan, 6/10/2010), Muhtadi Asnun (Ketua Majelin Hakim kasus Gayus T di
PN Tangerang, didakwa menerima uang, tuntutan 3,5 tahun oleh PN Jakarta Timur,
8/11/2010), Haposan Hutagalung (pengacara Gayus, didakwa menyuap penyidik Polri
dan turut menyiasati uang Gayus T sebagai milik Kosasih, terdakwa PN Jakarta
selatan, 16/8/2010), Lambertus Palang Ama (anak buah Haposan, didakwa membuat
kontra fiktif antara Gayus T dan Andi Kosasih, terdakwa PN Jakarta Selatan,
16/8/2010), Andi Kosasih (didakwa turut menyiasati uang milik Gayus T sebagai
miliknya, terdakwa PN Jakarta Selatan, 23/8/2010), Cirus Sinaga (Jaksa, bersama
Haposan Hutagalung menjadi tersangka dugaan pemalsuan dokumen petunjuk tuntutan
atau rencana tuntutan kasus Gayus Tambunan, tersangka 12/11/2010).
Tambahan lagi,
keluarnya Gayus T dari rutan Brimob, maka kesembilan polisi yang bertugas di
Rumah Tahanan Brimob, termasuk Kepala rutan Komisaris (Pol) IS, yang kini sudah
ditetapkan tersangka sejak 19/11/2010, telah menambah daftar panjang bahwa
praktek-praktek suap-menyuap begitu rentan di negera kita ini. Sejumlah nama
diatas, dengan keragaman profesinya menunjukkan, siapapun begitu imun terhadap
praktek suap-menyuap. Lantas, kenapa korupsi seperti ini bisa terjadi? Tudingan
utama pastilah di arahkan kepada bobroknya mentalitas bangsa ini.
Potret Mentalitas kita
Oleh sebab itu,
kasus Gayus T itu sebenarnya ‘biasa-biasa’ saja. Yang tidak biasa itu adalah
ketika para penyogok (penyaru-penyaru) Gayus T tidak diusut dan tidak
dipenjarakan. Saya sebut ‘biasa biasa’ saja, karena hampir semua orang
belakangan ini semakin geram dan semakin kesal melihat Gayus T, sementara
koruptor yang berperan sebagai penyuap tidak dikecam habis-habisan. Tak
hanya Gayus T, mari berkaca pada pelaksanaan Pilkada baru-baru ini. Bayangkan, seorang kepala daerah menggelontorkn uang ratusan miliaran
rupiah untuk memenangkan pertarungan kekuasaan.
Mereka (para
kepala daerah yang sekarang tersandung korupsi), jelas tidak punya niat
sedikitpun memimpin rakyat, tetapi sedang mengejar kekuasaan, sehingga cara
menyogok rakyat dianggap halal untuk mengejar kekuasaan. Kantong pribadi
jauh lebih penting dari masa depan rakyatnya.
Tidak aneh, jika
banyak kepala-kepala daerah hasil pilkada terjerat korupsi. Meminjam data TvOne
(TvOne, 8/11/2010), sebanyak 150 bupati tersandung korupsi dan telah masuk bui
dan tujuh gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka. Inipun bentuk-bentuk mentalitas
yang tidak benar. Jika ‘para pemimpin’ saja sudah seperti ini, bukankan
cerminan mentalitas pemimpin itu biasanya memantul sampai ke bawah? Tentu, hal
ini patut dipersoalkan.
Gayus T itu adalah
kita, gambaran Indonesia: yang menyogok kapanpun dan dimanapun. Ini soal
mentalitas anak bangsa. Contoh lain, saat mengurus pembuatan KTP.
Sebenarnya kita tidak sedang mau mengurus KTP, tetapi sedang perang urat syaraf
melawan diri sendiri. Kita bergumul memikirkan berapa uang harus kita sediakan
dan siapa yang bisa disogok agar KTPnya selesai cepat. Mahasiswa sering
‘pusing’ memikirkan jumlah ‘amplop’ yang diselipkan di dalam skripsi, untuk
memperlancar proses ujian meja hijau, atau masyarakat begitu mudah membayar
uang ‘pelicin’ supaya cepat lepas dari jerat birokrasi. Padahal, semuanya itu
bisa dihadapi dengan akal sehat dan dengan cara-cara yang benar tanpa harus
bayar.
Itu sekedar
contoh-contoh kecil saja. Kita semua bisa menyebut contoh-contoh lainnya,
sebagai masyarakat yang merasakan dan melakukannya barang kali. Maka, alangkah
baiknya kita bercermin, bahwa kita ini perlu membenahi diri. Mentalitas kita
perlu dibaharui setiap saat. Kita harus berani menantang diri, menghadapi dunia
yang serba rusak ini.
Kita perlu
berbenah diri. Membangun mental yang berintegritas dan berani bertindak benar.
Jangan sampai menghakimi orang lain, tapi lupa intropeksi diri. Karena kita
mungkin memakai ‘topeng Gayus’ setiap hari. Atau gayus itu adalah diri kita
sendiri. Anda dan saya lebih tahu. Mestinya kita, berterimakasih kepada Gayus
karena sudah membuka tabir gelap mentalitas bangsa ini.
Matinya Nurani Wakil Rakyat
Cerita merangkak
hingga ke gedung senayan. Hampir setiap hari
layar kaca televisi mewartakan banyaknya politisi busuk di negeri ini. Padahal,
semasa kampanye, mereka rajin mengumbar janji dan komitmennya membela rakyat.
namun, tiba masa menjabat, lupa nasib rakyat, bahkan banyak sekali elit politik
yang tersandung korupsi. Kenyataan ini menambah luka di hati rakyat.
Masih hangat dalan
ingatan, kasus skandal bailout century yang kini lenyap ditelan bumi, menjadi
bukti bobroknya politik-hukum di negeri ini. Entah sampai kapan, kasus ini
ditangguhkan. Berharap kepada wakil rakyat memberi yang terbaik, yang ada
justru menambah kekecewaan, wakil rakyat justru rajin bolos dari sidang[3] dan tak bisa menuntaskan produk undang-undang. Jadi, bukan hanya karena
sering membolos, juga karena produktivitasnya yang rendah[4] sehingga kini DPR jadi bahan perbincangan banyak orang.
Tak sampai di
situ, DPR kembali menampilkan tabiat buruknya, mementingkan diri sendiri.
Mereka mengajukan proposal pembangunan rumah aspirasi sebesar Rp 15 miliar,
untung cepat dipatahkan rakyat. Tak patah arang, DPR kemudian mengusulkan
pembangunan rumah aspirasi dengan dana sebesar Rp. 8,4 miliar, itupun ditolak
habis-habisan oleh banyak pihak. Kini, di tengah tingginya kemiskinan[5], dan berbagai penderitaan rakyat yang belum tersentuh, DPR malah berencana
akan membangun gedung baru yang mewah, dengan menganggarkan dana sebesar Rp 1,6
triliun dari APBN. Kini, itu masih perdebatan. Itu baru soal gedung, belum lagi
soal alokasi dana untuk studi banding anggota DPR sebesar Rp 162,94 miliar
(kompas, 18/9). Lagi-lagi, soal kepentingan pribadi dan meminggirkan nasib
rakyat.
Tumpukan manusia
di depan istana saat acara ”open house”antrian demi rupiah adalah
potret buram kemiskinan. Pejabat konglomerat sementara rakyat melarat. Tali
temali kemiskinan bak air yang disiramkan memadamkan ’bara nasionalisme’ di
hati rakyat. Sisi gelap lain, kita masih ingat politisi pragmatis Andi Nurpati,
anggota KPU yang meloncat ke Partai Demokrat[6] (PD). Sesungguhnya bukan cuma Andi Nurpati saja. Ada beberapa anggota KPU yang masuk parpol, juga pragmatis[7]. Kasus ini disaksikan jutaan pasang mata di seantero Indonesia. Kaum muda
yang belum stabil tentu memandang cara seperti itu pantas dan menjanjikan bagi
kesejahteraan dan eksistensi kekuasaan, dan akan ditirunya. Ini jelas
berbahaya.
Bahaya Laten Korupsi
Masalah yang lebih
berat adalah korupsi[8].
Kini, korupsi kian nadir. Mungkin inilah yang mendorong Bapak Saldi Isra[9]
sangat geram dan menyebutnya ”Korupsi (tak ada) Matinya”. Saking, berbahayanya
terhadap eksistensi bangsa ini, Bapak Teten Masduki[10],
menggugat pemerintah dan penegak hukum terhadap lemahnya pemberantasan korupsi,
dalam opininya, ”Bangsa Korup”, dan”Pidato Antikorupsi” di harian kompas.
Untuk kesekian
kalinya, kondisi yang sama akhirnya memaksa Presiden SBY kembali memberikan
pernyataan keprihatinannya di depan media terkait reformasi hukum dan
pemberantasan korupsi (kompas, 18/9). Ini isyarat bahwa korupsi masih
menggeliat leluasa di negeri ini. Sayangnya, meskipun negara kita ini memiliki
lengkap institusi penegak hukum dan lembaga superbodi antikorupsi, tetapi
kehadiran lembaga-lembaga tersebut seakan tidak memberikan dampak nyata
terhadap pemberantasan korupsi, bahkan nyaris semua institusi negara tersebut
sudah tak ada lagi yang benar-benar bersih, alias korup.
Satu sebab yang
pasti bahwa kehadiran lembaga penegak hukum dan institusi pemberantasan korupsi
tersebut tidak otomatis menghadirkan iklim (nuansa) negara yang alergi korupsi.
Korupsi belum dimaknai sebagai musuh bersama, yang begitu gagah merusak moral
bangsa. Sekali lagi, kenyataan ini menambah daftar panjang terkoyaknya
nasionalisme di republik ini.
Agar lebih
sederhana, mari kita sitir setumpuk masalah diatas menjadi beberapa poin, (1)
alasan para sarjana mencari kerja; (2) mentalitas pegawai murahan (mentalitas
Gayus) (3) ketiadaan visi para pemimpin; (3) Bahaya laten korupsi; (4) Matinya
nurani wakil rakyat; (5) kemiskinan. Beberapa masalah ini tentu tidak berdiri
sendiri, tetapi rangkaian yang saling berkaitan sekaligus mempengaruhi terhadap
redupnya nasionalisme kita hari ini.
Mengais-ais makna nasionalisme
Bagi sebagian
besar diantara kita, kata nasionalisme bukanlah sebuah kata pencerahan baru.
Sebab, berdirinya bangsa ini tak bisa dipisahkan dari peran semangat
nasionalisme rakyat dan pemimpin negara ini, waktu itu. Ada yang bisa
menginspirasi dari generasi dulu[11] (pasca proklamasi), bahwa mereka rela berkorban dengan gigih demi tegaknya
Indonesia dan tak satupun bisa merebutnya dari tangan rakyat.
Mencermati realita
kini, mungkin kita (generasi sekarang) kurang menyadari semangat para pejuang
dulu, yang siap berperang membela negara demi tegaknya republik Indonesia.
Kecintaan kepada negeri ini, mendorong mereka siap meninggalkan anak-istri,
melepas kenyamanan, tenggelam dalam perjuangan dan tidak memandang jabatannya
sebagai sesuatu yang pantas dipertahankan demi tanah tercinta yang kini
diwariskan kepada kita. Itulah nasionalisme sejati.
Adakah Alternatif?
Salah satu
pertanyaan besar yang harus kita cermati adalah apakah kecintaan kita pada
negeri ini kita masih kuat, di tengah derasnya arus globalisasi masa kini?
Bagaimana menjawab tantangan perkembangan yang kini berada di ambang pintu
kebesaran dan kemajuan, dengan suatu kepemimpinan? Kita tentu tak menginginkan
perubahan yang sepotong-sepotong. Kita berharap terjadinya perubahan yang
menyeluruh (terintegrasi), dan itu hanya bisa terjadi jika semua pihak ikut
ambil bagian dalam membangun bangsa ini.
Jamak diketahui
bahwa kepemimpinan yang visionerlah yang mampu membawa bangsa Indonesi keluar
dari semua masalahnya, bahkan dari bahaya hilangnya nasionalisme. Sebuah
kepemimpinan yang memandang lebih jauh atas masa depan rakyat. Kita harus
bangkit. Caranya, kita harus menemukan kembali semangat para pendiri bangsa ini
di dalam diri kita, yaitu semangat kepemimpinan dengan visi yang jauh ke depan.
Generasi masa kini
harus bisa keluar dari garis batas berpikir standar. Sebab, bila tak mampu
melihat lebih jauh dan nihil kepemimpinan, bagaimana mungkin kita akan berani
bertindak secara tegas dan meyakinkan dalam melawan korupsi? Bila tanpa
kepemimpinan dan tanpa visi yang jelas, maka masa depan bangsa ini semakin
quovadis.
Maka, pemimpin
negeri ini perlu membuka mata terhadap keadaan rakyat.[12] Meminjam kata-kata bijak di Film ”Spiderman”, The great power come with
the great responsibility, pantas untuk diadopsi oleh pemimpin manapun.
Pemberantasan korupsi, mentalitas pegawai murahan, ketiadaan visi para
pemimpin, rendahnya moralitas DPR, kemiskinan struktural (seperti yang
diuraikan di atas), kita akui rentan mengoyak nasionalisme generasi sekarang.
Harapan, efektivitas, visi, dan kepemimpinan yang visioner adalah syarat mutlak
yang harus dipenuhi untuk membangun nasionalisme bangsa ini.
Kita semua (tanpa
terkecuali), perlu turut ambil bagian. Tanpa partisipasi kita semua, mustahil
bangsa ini bisa kita bangun. Kita perlu bekerja saling membahu membangun bangsa
lewat potensi yang kita miliki. Dengan semangat nasionalisme, konsistensi dan
keberanian menantang diri, sembari meyakini kasih Allah bagi bangsa ini, saya
yakin Indonesia akan jauh lebih baik.
[1] Soe Hoek Gie,
aktivis mahasiswa, pemuda kritis, yang di tubuhnya mengalir darah patriotisme,
nasionalis. Sosk yang menginspirasi banyak orang tentang nasionalisme. Beliau
sebenarnya, suku Tionghoa, namun kecintaannya kepada Indonesia membuatnya, siap
ambil resiko apapun, berjuang melawan tirani. Kutipan diambil dari buku Soe
Hoek Gie…Sekali lagi Buku Pesta dan Cinta di alam Bangsanya, yang diterbitkan
kompas
[2] Samuel Tumanggor, penulis buku :”Demi Allah dan Demi Indonesia”. Beliau
juga sudah menulis sedikitnya 5 buah buku, dengan berbagai artikel di beberapa
media, dan masih aktif menulis hingga hari ini.
[3] Dari data Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR bahwa tingkat
kehadiran wakil rakyat selama tiga masa sidang terus menurun. Sidang I (1 Oktober 2009-4 Desember 2009) tercatat 92, 57 persen anggota
DPR menghadiri rapat, sidang II (4 Januari-5 Maret 2010) hanya 84,32 persen
yang hadir. Dan pada sidang II (5 April- 18 Juni 2010) yang hadir tinggal 71,59
persen. Fenomena ini sangat mengecewakan bagi rakyat (kompas,29/7/2010).
[4] Sepanjang januari hingga juli 2010, dari 70 rancangan undang-undang (RUU),
DPR baru mensahkan tujuh RUU yang sebagian besar tidak masuk Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) tahun 2010 dan dari tujuh RUU yang disetujui untuk
disahkan menjadi undang-undang itu, hanya satu yang masuk Prolegnas 2010
(kompas, 31/7/2010). Fenomena ini sungguh memalukan!
[5] Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan masih lebih 13
persen, sementara berdasarkan angka organisasi internasional, berkisar 17
persen dengan menggunakan indikator pendapatan satu dolar AS perhari. Namun,
jika menggunakan angka bank dunia pengeluaran 2 dolar AS perhari, setengah dari
penduduk Indonesia adalah penduduk miskin. Bagaimana mau mencintai bangsa ini,
sebab negara ini tak lagi mencintai mereka (baca: rakyat miskin)?
[6] PD adalah partai yang didirikan oleh Presiden SBY, SBY dan PD-nya berhasil
dua kali memenangkan kontestasi politik di pilpres 2004-2009 dan 2009-2014. tak
sedikit politisi dari PD juga berhasil memenangi pemilihan kepala daerah
[7] Beberapa anggota KPU yang masuk parpol antara lain: (1) Andi Malarangeng
(KPU periode 1999-2004) mengundurkan diri dari KPU pada tahun 2000, yang
kemudian membentuk Partai Demokrasi Kebangsaan pada tahun 2002; (2)
Urbaningrum (KPU periode 2001-2005) mengundurkan diri dari KPU pada juni 2005
dan bergabung dengan partai demokrat sebagai ketua bidang politik; (3) Johannes
Baptista Lalongke (KPU propinsi NTT periode 2003-2008) mengundurkan diri karena
menjadi caleg DPRD Propinsi NTT dari Partai Golkar periode 2009-2014 (sumber
kompas, 22/6/2010).
[8] Istilah korupsi pertama kali hadir dari kata latin, “coruptio” yang
artinya pembusukan moral. Dari artinya saja, korupsi adalah sesuatu yang sangat
jahat atau suatu perilaku busuk perusak moral. Meski korupsi sebagai suatu
tindakan jahat dan sangat merusak moral, tetapi akhir-akhir ini tindakan
seperti itu justru dianggap ‘wajar-wajar’ saja. Banyak orang belum bisa
memaknai korupsi sebagai perilaku kotor, pembusuk moral bangsa.
[10] Bapak Teten Masduki adalah pemerhati masalah korupsi dari ICW, aktif
menulis di berbagai media.
[11] Realitas-realitas kala itu tampak jelas bahwa pemuda-pemuda Indonesia penuh
dengan idealisme. Mereka punya “semangat baja”, meski mereka hanya punya dua
pilihan. Pertama, tetap bertahan dengan cita cita idealisme.
Kedua, kompromi dengan musuh. Yang idealis, harus siap mati tersingkir,
tertawan, dan ditindas. Sementara yang memilih kompromi, menjilat, berkhianat,
bergabung dengan penjajah, dan kariernya menanjak, tapi harus merelakan
negerinya tersandera selamanya.
[12] Dedy Hutajulu, dalam opininya: “Jangan Sampai Indonesia dilecehkan”, harian
analisa, 25/8/2010, dalam tulisan ini dituliskan bahwa bangsa sebesar Indonesia
ini belum bisa duduk sama rata, berdiri sama tinggi dengan Malaysia, bahkan
kita harus merelakan saudara kita menjadi kuli (TKI) di Malaysia.
0 komentar:
Posting Komentar