Sejarah


29 Juli 1972
DI Munardjati dekat Lawang, Djawa Timur, 2 minggu lalu, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan resmi memisahkan diri dari NU, partai jang selama ini membawahinja. Keputusan hasil Musjawarah Besar PMII antara tanggal 10--15 Djuli 1972 itu dengan demikian menempatkan organisasi mahasiswa Islam itu jang kedua setelah HMI, jang tidak lagi berafiliasi dengan partai politik. Dan dengan hadirnja 12 dari 16 wilajah perwakilan jang ada, konon keputusan jang diambil Mubes telah memenuhi ketentuan Anggaran Dasar PMII, meskipun selandjutnja masih harus mendapat pengukuhan liwat kongres jang kabarnja akan dilangsungkan tidak lama lagi.
Bangga. Tentu sadja tidak bisa dielakkan timbulnja dugaan bahwa keputusan itu ada sangkut-pautnja dengan akan di nadjukannja RUU Keormasan dan Kepartaian ke DPR nanti. Dengan kata lain keputusan jang diambil PMII itu tidak bisa dilepaskan dari usaha penjelamatan organisasi dari kemungkinan "tergusur" oleh ketentuan undang-undang jang bakal lahir. Dan keputusan PMII itu agaknja bukan belum pernah terfikirkan oleh pihak NU sendiri.
Di gedung DPR minggu lalu, Ketua PB--NU Nuddin Lubis memberi komentar dihadapan pers bahwa "memang sudah lama dipikirkan oleh NU tentang masa depan ormas-ormas dibawahnja". Karena itu keputusan PMII itu agaknja tidak terlalu menimbulkan kedjutan dikalangan NU. Apa jang ditjoba diusahakan NU setelah itu agaknja adalah menghilangkan kesan bahwa pemisahan PMII itu menundjukkan terdapatnja ketidak-akuran antara generasi muda dan generasi tua dalam keluarga Nahdlatul Ulama.
"Meskipun sudah independen, PMII tidak mau melangkahi begitu sadja", kata Nuddin Lubis. Sehingga ada alasan baginja untuk berkata: "Kami tidak perlu merasa kehilangan. Kami malah merasa bangga". Ketua Umum PMII Zamroni barangkali bukan tidak merasa bangga djuga akan tetapi ia rupanja lebih melihat pemisahan diri PMII dari NU itu sebagai kebutuhan jang sudah lama dirasakan. "Kami memang menginginkan perobahan-perobahan dalam sistim organisasi", katanja minggu lalu, djuga digedung DPR. "Semata-mata menggantungkan pada proteksi, itu tidak dinamis. Dengan independen ini, tanggung-djawab lebih banjak pada diri sendiri". Dan bahwa keinginan itu baru sekarang dilaksanakan, itu hanjalah karena pertimbangan "psikologis, untuk menghilangkan prasangka-prasangka, Tjoba kalau ini kami umumkan sebelum Pemilu", kata Zamroni.
Boleh. Bagaimanapun, hubungan PMII memang masih belum sepenuhnja sima dengan keputusannja di Munardjati, Ada banjak terdapat tokoh-tokoh PMII jang duduk baik dalam partai NU maupun dalam lembaga-lembaga dan djabatan-djabatan jang mewakili NU, dan semua ini belum disinggung dalam Mubes di Lawang itu. Dan Zamroni sendiri mengakui bahwa hal ini memang "tak bisa diatasi sekaligus". Zamroni sendiri mendjadi anggota DPR mewakili NU.
"Penjelesaian terachir dari mereka jang mendjadi aktifis NU adalah dalam kongres jang akan diselenggarakan setjepatnja", katanja. Disebelah lain, orang kini bisa bertanja, langkah apakah jang akan ditempuh oleh PMII sesudah ini? Bermula dari organisasi keluarga jang di bawahi oleh lembaga Ma'arif, kemudian mendjadi badan otonom dalam NU setelah sekarang menjatakan dirinja "independen", ia agaknja bisa mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan fusi dengan HMI. Maukah PMII? "Boleh", kata seorang pimpina PMII di Djakarta setjara spontan kepada TEMPO minggu lalu.
Majalah Tempo Online

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons