Biografi

PMII dan Gerakannya 
Tuesday, 28 June 2011 16:58 PMII UB 

Wacana PMII - Jauh sebelum kader PMII bersentuhan dengan pemikiran Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Arkoun, dan beberapa kelompok pemikir “kiri” dalam dunia Islam lainnya, sosialisme Indonesia yang berbasiskan religiusitas Islam telah diterima di PMII dan diperjuangkan dalam ranah struktur ataupun kultur. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan sejenis masih berkutat dalam politisasi Islam dan kecenderungan menolak Pancasila sebagai dasar negara, serta kehendak menggantikannya dengan Piagam Jakarta. Ini sungguh sikap “protes” yang luar biasa PMII atas kehendak Islamisasi negara, “…Sebagai angkatan baru, PMII insaf dan yakin sepenuhnya akan pertanggungjawab terhaap agama Islam, Negara dan Bangsa serta kesetiaan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta…”. PMII bahkan mengklaim dirinya sebagai “nasionalisme sejati” dan “pembela kaum mustadl’afin”, jauh sebelum masalah nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat tertindas di gugat habis oleh banyak kelompok Islam modernis ataupun kelompok lainnya di Indonesia, “…adalah sifat dan tanggung jawab terpuji bertindak menurut dan mengembangkan ajaran agama Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati dan berpihak kepada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta pembelaan terhadap mereka…” Sikap non-kooperatif anti dengan kekuatan global (internasional) yang kerap sekarang ini disebut sebagai “imperialisme ekonomi”, justru telah PMII tetapkan sejak 1961, bukan saja imperialisme-kolonialisme fisik (militer) saja yang PMII tolak, bahkan imperialisme ekonomi, sosial dan budaya juga tidak PMII tolerir terjadi seluruh dunia. Jauh sebelum, para organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, kepemudaan, dan parpol-parpol Islam hari ini begitu “kencang” melakukan aksi sosial-jalanan menolak penghancuran Afghanistan dan penyerangan AS atas Irak ataupun dunia Islam lainnya, PMII justru telah menyuarakan hal itu sejak tahun ’60 an, “…menjadi pertanggungjawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imperialisme-kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak asasi dan demokrasi yang luhur, menyokong pengembangan persahabatan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain demi untuk perdamaian dunia, berusaha keras tidak jatuhnya dunia ke kancah peperangan, melawan penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan dalih apapun dan oleh siapapun, mendukung gerakan kemerdekaan tanah air oleh bangsa-bangsa yang masih terjajah di dunia…”. Tak heran, jika para aktifis PMII di era ’80 dan ’90 an tidak begitu tertarik dengan wacana Islam modernis seperti, pemikir-pemikir Pan-Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Bduh, Rasyid Ridha, ataupun Sayyid Qutb. Justru PMII malah menceburkan dirinya dengan pergulatan Hassan Hanafie, Abed Al Jabiri, Mahmoud Toha dan pemikir Islam yang agak ke-kiri-kiri-an. Akar radikalitas pemikiran aktifis PMII sudah tertanam benar di tubuh PMII bahkan telah menjadi kultur intelektualnya. Oleh karena itu, PMII hampir tidak mengalami kesulitan cukup berarti mengadaptasikan dirinya dengan perubahan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan internasionalisasi. Kedua, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan dan Penegasan Yogyakarta pada Kongres II dibulan Desember tahun 1963. PMII menginstruksikan kepada para kadernya harus berjiwa sosialis, demokratis, nasionalis, pejuang anti penindasan, dan revolusioner, serta meng’haram’kan kadernya apatis, isolasionis, kompromistik murahan, cepat puas, dan cepat putus asa. Implikasinya, kader PMII tidak boleh menyerahkan dirinya ‘mentah-mentah’ kepada kehendak penguasa, sekaligus tidak juga terseret pada sikap ekstrim yang mampu menggoyahkan sendi-sendi keutuhan NKRI. Keputusan ini diambil sebagai bentuk counter represifitas rezim Orla pada saat itu yang akan membabat para mahasiswa kontra (tak sepahaman dan menentang) revolusi serta menguatnya manufer-manufer politik PKI yang semakin tidak memberi ruang bagi kelompok agamis. Dalam ranah ekonomi, segala bentuk hegemoni negara atas pos-pos ekonomi (produksi) ditolak oleh PMII, padahal ketika itu presiden Soekarno semakin yakin dengan konsep NASAKOM-nya dan begitu membuka ruang yang sangat lebar buat PKI untuk menguasai posisi-posisi strategis di berbagai departemen penting negara. PMII menyerukan bahwa penumpukan bahan pokok kebutuhan rakyat sangat bertentangan dengan Islam, monopoli perekonomian, pemerasan dan mengingatkan negara bahwa cabang dan sektor produksi yang dikuasainya harus digunakan untuk kemakmuran (sepenuhnya) rakyat, bukan sebaliknya. (lihat hasil Kongres Ke-II PMII di Yogyakarta pada tahun 1963). Rupanya hal ini juga merupakan sebuah kritik atas beberapa elit partai NU yang memiliki previlige-previlige tertentu di kekuasaan untuk menumpuk kekayaan pribadi. Dalam konteks internasional, PMII telah mengajukan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan Konperensi Islam Internasional Asia-Afrika (KIAA). Artinya, PMII tidak sepenuhnya ‘sekuler’ dalam memandang agama dalam korelasinya dengan negara dan dunia. Hal ini semakin menunjukkan, bahwa PMII tidak hanya memprotes ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga memiliki perhatian tinggi atas ‘internasionalisme’, khususnya keterbelakangan umat Islam di dunia, dimana kebanyakan mereka adalah warga masyarakat dunia ketiga. Ketiga, Gelora Mega Mendung bulan April 1965, yang meliputi ‘gelora’ pemikiran dan gerakan PMII mengenai 5 (lima) butir masalah, yakni : ukhuwwah Islamiyyah, watak umum organisasi, berpengetahuan dan berkesadaran politik, partisipasi organisasi dalam tahap-tahap revolusioner dan tentang pondok pesantren. Disini kita bisa menilai radikalitas pemikiran organisasi kemahasiswaan yang katanya kelas intelektual masyarakat tradisional itu, bahwa watak umum organisasi mahasiswa itu adalah “…kecuali harus berpihak kepada ke-Tuhan-an, kepada sosialisme, membela buruh dan tani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan Nekolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk manifestasinya…”. Begitupula dengan masalah pondok pesantren, PMII memandang bahwa pondok pesantren merupakan basis gerakan anti kolonialisme, dan tempat penggemblengan serta pendidikan untuk mensukseskan usaha nation and character building. Sosialisme Indonesia yang dimaksud PMII di era Orde Lama, tidaklah sama, berbeda dengansosialisme yang orang nasionalis, komunis ataupun aliran politik lain definisikan. Sosialisme Indonesia bagi PMII adalah “… tidak ada lain daripada masyarakat adil dan makmur, materiil dan spirituil dan diridlai Allah SWT., selian dia merupakan tujuan agama Islam.. pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta…”. Apa yang diputuskan NU di tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final, harus diakui ada andilnya (terinspirasi) oleh pemikiran PMII di atas. Keempat, PMII menjadi motor gerakan mahasiswa, pencetus perjuangan Ampera, dan Tritura di sepnajang tahun 1966 dan 1967. Dimulai dengan terpilihnya Zamroni (salah satu ketua PB PMII) sebagai ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), PMII terlibat aktif dan menjadi motor gerakan mahasiswa membubarkan PKI, meminta penurunan harga, bubarkan kabinet, bersihkan serta parlemen dari unsur/gerakan PKI. Dari pusat hingga daerah, aktifis PMII menduduki posisi pertama di KAMI. Salah satu kredo terkenal KAMI yang banyak disitir oleh gerakan mahasiswa setelah itu adalah “Hitam kata rakyat, hitam kata PMII. Putih kata rakyat, putih kata KAMI”. Sebuah prestasi spektakuler bagi organisasi yang masih belia (lahir 1960), PMII mampu menjadi motor penumbangan Orde Lama untuk digantikan Orde Baru. Organisasi kemahasiswaan ekstra instituter, kepemudaan, Ormas ataupun partai politik, bahkan Soekarno sendiri tentunya sangat mengenal siapakah Zamroni (Salah satu ketua PB PMII) yang dengan kekuatan orasinya mampu menggerakkan mahasiswa, pelajar dan masyarakat kecil untuk segera memaksa pemerintah membubarkan PKI, menuntut perubahan besar-besaran pada tatanan sistem pemerintahan dan politik Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tak salah pak Subhan (politisi ulung NU) memilih Zamroni menjadi ketua KAMI, yang saat itu di’amini’ oleh Mahbub Djunaidi (Ketua Umum PB PMII), Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI) dan kawan-kawan. Kelima, pengakuan akan kesetaraan gender, yang selama ini sangat digandrungi dan diperjuangkan oleh hampir seluruh organisasi perempuan di Indonesia, sudah terlebih dahulu PMII suarakan pada tahun 1966 melalui “Panca Norma PMII Putri”, hanya saja PMII menamakan gerakan kesetaraan itu dengan emansipasi bukan perjuangan gender, “…emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada kaum wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria….tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan, baik politik, sosial-ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak, dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi daripada ajaran Islam…PMII sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa dan revolusi..”. PMII putri juga menyerukan kepada seluruh civitas akademika diseluruh Indonesia, agar jurang pemisah antara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak, dan menempatkan organisasi kemahasiswaan sebagai jembatan emas penghubung antara keduanya. Bahkan secara kongkrit PMII putri akan mendharmabaktikan dirinya dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial ekonomi, pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan. Keenam, Deklarasi Murnajati ditahun 1972, sebagai tonggak Independensi PMII terhadap partai dan organisasi apapun. Ini mungkin bentuk ‘protes’ paling besar PMII terhadap NU, ataupun dunia perpolitikan nasional di era Orde Baru. Sejak itu, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent, tidak terikat, baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya commited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Polemik cukup tajam terjadi antara aktifis PMII yang membela ‘mati-matian’ independensi (karena tidak semua aktifis PMII setuju independensi) dan alumni PMII atau elit NU yang menyayangkan PMII ‘keluar’ dari NU. Pendewasaan dan dinamika organisasi merupakan alasan utama, diambilnya kebijakan teresbut, tetapi saya melihat bahwa independesi PMII dalam konteks dimana NU masih menjadi partai, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa Ali Moertopo (Opsus), yang bertujuan melemahkan kekuatan NU, sebab dengan memisahkan PMII dari partai NU, maka partai NU kehilangan resources dan salah satu kaki politik yang cukup bisa diandalkan untuk mengemban amanat, nilai-nilai, dan membesarkan partai NU. Namun, terlepas pro-kontra yang melingkupinya, independensi PMII itu telah terasa benar manfaatnya bagi PMII dewasa ini, berbagai capaian strategis dan kemajuan organisasi justru terjadi secara massif dan progresif dengan PMII independen dari organisasi manapun. Ketujuh, Pernyataan Ciloto tahun 1973. Ada beberapa hal yang cukup berani disuarakan PMII sebagai kritik atas Orde Baru. Dalam ranah ekonomi, PMII meminta agar kebijakan pemerintah mengundang modal asing untuk masuk ke dalam negeri harus berorientasi pada penciptaan (memperluas) lapangan kerja bagi pribumi dan bukan sebaliknya, perlindungan bagi pengusaha pengecer pribumi di pelosok-pelosok daerah, serta perlunya membatasi modal asing agar tidak bersifat subtansial, melainkan bersifat komplementer saja. Sedangkan dalam ranah politik, PMII memprotes perombakan struktur politik yang dijalankan pemerintah masih jauh (menyimpang) dan belum mencerminkan sepenuhnya asas-asas yang terkanung dalam UUD 1945. PMII juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan mimbar di perguruan tinggi se-konsekwen mungkin, menghilangkan kecurigaan berlebihan terhadap aktifitas (mahasiswa) perguran tinggi dan menghindari penggunaan security approach terhadap setiap masalah (sosial-politik) yang muncul. Meletusnya kerusuhan Malari 1974, bukanlah sesuatu yang tidak diprediksikan oleh PMII. Apa yang dimaksud dengan “Statement Ciloto”, akhir Desember 1973, adalah bentuk antisipasi PMII atas kebijakan negara yang semakin melupakan nasib pribumi, serta kecenderungan menguatnya konsolidasi para aktifis mahasiswa untuk melakukan gerakan besar menentang kebijakan itu dalam bentuk aksi-aksi jalanan seperti di tahun 1966 yang lalu. Apa yang dikhawatirkan PMII di Ciloto menjadi kenyataan, dengan meletusnya peristiwa Malari yang melahirkan Hariman Siregar sebagai salah satu tokoh utamanya. Kedelapan, Protes PMII atas tradisi berpikir (sebagian) orang NU yang masih kolot, menolak diberlakukannya SK Menteri P dan K No. 028, yang berisi keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa harus meminta izin rektor terlebih dahulu, memfasilitasi berbagai pertemuan almuni PMII untuk mengawali Kebangkitan NU dengan melakukan pribumisasi Islam, penyebar pluralisme dan toleransi, mengembalikan NU pada khittah-nya, ‘motor’ menerima Pancasila sebagai asas tunggal, serta memprotes hutang luar negeri pemerintah yang semakin menggunung,. Di era ‘80 an memang tidak banyak gerakan mahasiswa yang mampu bersinar terang dalam panggung-panggung ‘mitologi’ politik nasional. Sebab, sepanjang dasa warsa ini, Orde Baru telah mampu mencengkeramkan kuku kekuasaannya dengan kuat, hampir di seluruh entias politik dan sosial (masyarakat). Namun, PMII masih melakukan hal-hal strategis yang sangat penting bagi proses radikalisasi-liberasi pemikiran dan gerakan di sepanjang dasa warsa ’90 an. Beberapa hal di atas merupakan cerminan agar PMII mulai lagi membangun kritisisme, dan mulai menjadi corong perluasan ide-ide besar Gus Dur, baik ke dalam masyarakat Islam tradisional sendiri, ataupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada paruh terakhir dasa warsa ‘80 an, radikalisasi pemikiran aktifis PMII sudah semakin berkembang jauh, tidak hanya terbatas pada domain pemikiran keagamaan saja, tetapi semakin luas ke dalam pemikiran filsafat, dan social humaniora. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin banyaknya kader PMII yang berasal dari perguruan tinggi umum (tak lagi terpusat di IAIN atau perguruan tinggi Islam lainnya). Begitu pula, kehadiran LkiS di akhir era ’80 an, turut mendorong liberalisasi pemikiran aktifis PMII. Kesembilan, di sepanjang dasa warsa ’90 an, PMII meneguhkan dirinya sebagai “organisasi protes”. Sejak kepemimpinan sahabat Iqbal, jumlah pemikir muda di PMII semakin bertambah banyak. Gerakan aksi jalanan sebagai bentuk kritik atas jalannya kekuasaan mulai sering dilakukan. Aksi jalanan ini dimulai dengan gerakan sahabat Effendy Choiri (waktu itu masih menjabat Ketua Umum PMII DKI Jakarta), di bulan Juli, tahun 1990, bersama 30 aktifis PMII lainnya, melakukan demo menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas terjadinya “Tragedi Mina”, di Kedutaan Besar Arab Saudi. Aksi ini sebagai tindak lanjut dari “pernyataan dan sikap terbuka PB PMII” yang menuntut Menteri Agama RI, Munawir Sadzali mengundurkan diri dari jabatannya, karena Menag dianggap terlalu pasif, tidak responsif, tidak tegas dan terlalu lamban dalam mengambil keputuan mengenai ‘kecelakaan’ yang menimpa ribuan umat Islam Indonesia itu. Keberanian berdemonstrasi PMII ini ditunjukkan kembali saat PMII bersama Kelompok Cipayung mendatangi Kedutaan Besar Amerika, untuk menentang ‘kebrutalan’ AS dalam Perang Teluk (1991). Bahkan, Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah pada saat itu) mengomentari gerakan jalanan PMII itu dengan sebutan “Halilintar PMII”. Last Updated ( Wednesday, 29 June 2011 14:22 )

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons