Sehabis berceloteh
di Warung Kopi
Hhhhhh….
Aku hanya bias
menghela nafas panjang, saat ingatan sadarku mulai beraktifitas di kepala. Ternyata
aku punya rencana dalam hidupku hari ini; mencari, menemukan, dan
mentransformasikan kembali tentang seorang tokoh yang semestinya sudah menjadi
keharusan untuk dikenal lebih awal dari pada tokoh-tokoh yang mencak-mencak di
senayan. Beliaulah Bapak PMII yang saat ini saya cari data-data tentan beliau,
H. Mahbub Djunaidi yang dikenal oleh Kader-kader PMII sebagai salah satu
pendiri Organisasi besar di Republik Indonesia ini. Namun, aku masih selalu
bertanya, kenapa nama beliau jarang disebut oleh mayoritas kader-kader PMII
hari ini. Padahal, setelah aku mencoba melacak di dunia maya, begitu banyak orang-orang
semasanya yang menyebutkan tentang dirinya. Salah satunya adalah tulisan utuh
tentang biografi H. MAhbub Djunaidi yang ditulis oleh Noor H. Dee di bawah ini.
Bukan tanpa
sebab dan alasan, saya mengcopy Paste sebuah karangan yang sangat berharga bagi
aku ini. Tak lain dan tak bukan, karena alas
an saya khawatir dengan keberadaan PMII hari ini khususnya di Jogja yang mulai
kabur warna dan karakter gerakannya. Aku hanya yakin, bahwa dengan membaca
sejarah dan memahami tokoh dalam sejarah, kemudian menghayatinya, hidup dan
kehidupan hari ini akan lebih cerah perjalanannya dan tentu akan melahirkan
beragam inspirasi. Sebab sejarah adalah guru yang paling bijak setelah sang
pembaca menghayati dengan sadar dan Objektif.
Sahabat-sahabat
yang budiman bacalah biografi Bapak kita di PMII yang ditulis oleh Noor H. Dee
yang aku copy di bawah ini tanpa ada yang aku edit apalagi merubah kalimat dan
isinya.
Dari Orwell Sampai Mahbub
:Biografi
Mahbub Djunaidi
Oleh: Noor H. Dee
Posted by tukangtidur in Kolom: 03
Senin Agu 2009
Sebelumnya saya tidak pernah mengenal lelaki itu.
Jangankan mengenal, mendengar namanya saja belum pernah. Hidup saya sudah
bising. Di kehidupan saya, orang-orang datang dan pergi semaunya. Muncul dan
menghilang begitu saja. Sampai akhirnya saya pun menganggap bahwa pertemuan dan
perpisahan itu sama saja. Tak ada yang perlu diistimewakan pada setiap
pertemuan, dan tak ada yang perlu ditangisi pada setiap perpisahan. Pertemuan
dan perpisahan adalah mahluk yang sama. Itu sebabnya, meskipun saya tidak
mengenal lelaki itu, saya merasa biasa saja. Lebih tepatnya: tidak peduli. Lagi
pula—dan ini yang lebih penting—lelaki itu sebenarnya sudah lama meninggal.
Jadi, apa pentingnya mengenal seseorang yang sudah lama meninggal?
Saya tetap menjalani kehidupan ini seperti biasa, tanpa
peduli dengan lelaki itu. Dan memang sudah seharusnya seperti itu. Hingga
akhirnya segalanya pun berubah. Tiba-tiba saja saya jadi peduli dengan lelaki
itu dan ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang dirinya. Semua perubahan itu
bermula dari Ayah saya, yang mengaku kenal dengan lelaki itu.
“Ini dulu teman Ayah, Di.” Begitu kata Ayah saya, yang
usianya sudah 77 tahun, sambil menunjuk sebuah nama yang tertera di dalam lembar
halaman majalah sastra Horison. Nama itu bertuliskan: Mahbub Djunaidi
Di titik inilah akhirnya saya berkenalan dengan lelaki
yang sudah lama meninggal itu, yang sebelumnya tidak saya kenal dan memang
tidak pernah saya pedulikan. Seandainya Ayah saya tidak pernah berkata “Ini
dulu teman Ayah, Di.” kepada saya, barangkali tulisan ini tidak akan pernah
ada.
Ya. Lelaki itu bernama Mahbub Djunaidi. Ia adalah seorang
jurnalis, kolomnis, dan sastrawan yang namanya sudah lumayan sering
diperbincangkan. Ia lahir di Jakarta, 27 Juli 1933 dan meninggal di Bandung, 1
Oktober 1995. Pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1948, tepatnya ketika masa
revolusi fisik terjadi, Mahbub mengungsi ke Solo. Di kota ini ia lulus SD dan
masuk SMP (kelas 1), juga sempat belajar di Madrasah Mambaul Ulum.
Mahbub Djunaidi adalah seorang sastrawan, meskipun ia
tidak menulis banyak karya sastra, tapi kekhasan yang dimiliki olehnya bisa
dikatakan tidak biasa. Novel pertamanya berjudul Dari Hari ke Hari,
diterbitkan pertama kali oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1975. Novel itu
berkisah tentang revolusi kemerdekaan yang tokohnya adalah seorang kanak-kanak.
Dalam tulisannya yang berjudul Mencatat Parodi di Pintu Sejarah, Korrie
Layun Rampan mengatakan bahwa penggunaan tokoh kanak-kanak di dalam novel Dari
Hari ke Hari bisa ditafsirkan sebagai simbol bahwa Republik Indonesia yang
masih baru lahir sama wujudnya dengan kanak-kanak yang polos dan lugu.
Pengalaman-pengalaman revolusi yang spektakuler itu disejajarkan dengan
pengalaman kanak-kanak yang mengalami perubahan dari saat ke saat hingga
mencapai kestabilan. Novel Dari Hari ke Hari
menyabet penghargaan dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ) tahun 1975.
Sampai di sini saya mulai tertarik dengan lelaki itu. Ya,
ternyata lelaki itu memiliki sudut pandang yang tidak biasa, yang mungkin hanya
dimiliki oleh segelintir orang saja. Menganalogikan Republik Indonesia yang
baru saja merdeka dengan seorang kanak-kanak adalah sebuah analogi yang jarang
sekali terpikirkan oleh orang banyak. Dan lelaki itu, Mahbub Djunaidi, telah
melakukannya. Hebat. Begitu kata saya. Lantas saya pun kembali tercebur lebih
dalam untuk kembali mengenal lebih jauh tentang lelaki yang ternyata dulunya
adalah teman Ayah saya itu.
Setelah novel Dari Hari ke Hari terbit, Mahbub
Djunaidi kembali menerbitkan novel berikutnya yang berjudul Angin Musim,
diterbitkan oleh PT Inti Idayu Press, pada tahun 1985. Tidak kalah dengan novel
sebelumnya, Angin Musim adalah novel satir yang tokohnya adalah seekor
kucing jalanan. Dalam novel itu Mahbub dengan lincahnya menulis segala macam
bentuk situasi sosial dan politik yang terjadi pada masa itu (Orde Baru), lewat
sudut pandang seekor kucing. Dilihat dari sudut ini, Agus R. Sarjono, penyair
sekaligus redaktur Majalah Horison, mengatakan bahwa mungkin Mahbub
Djunaidi adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang menulis novel dengan
sudut pandang seekor binatang.
Dalam novel Angin Musim ini, saya tertarik dengan
percakapan di bawah ini:
“Boleh saya ambil kucing ini?” tanya
(dua orang berpakaian dril berwarna kuning—pen) kepada para pedagang yang
terheran-heran.
“Dipersilakan dengan hormat,” jawab
tukang daging.
“Lebih bagus lagi kalau kucing yang ada
di pasar ini diangkat semua kemudian dicemplungkan ke dalam samudera,” kata
tukang ikan.
“Makhluk keparat itu lebih jahat dari
babi. Babi tidak mencuri, tapi kucing dari negeri mana pun bisa mencuri apa
saja, termasuk sapu tangan kita,” sahut pedagang tahu.
“Apakah kucing ini kesayangan mandor
pasar, atau barangkali Komandan Hansip?” tanya orang berpakaian dril itu.
“Kesayangan mandor pasar? Tentu saja
bukan. Mandor pasar tidak sempat memikirkan apa pun kecuali memungut pajak
tempel. Kucing itu yatim piatu dalam arti kata sebenar-benarnya. Pokoknya
Bapak-bapak akan memperoleh pahala berlimpah-limpah jika sudi menyingkirkan
binatang busuk itu dari sini,” seru mereka serempak seakan keluar dari satu
tenggorokan.
Sampai di sini saya tertawa-tawa. Saya tidak pernah
terpikir sampai ke situ. Kucing, yang konon katanya adalah binatang kesayangan
nabi, ternyata tak lebih dari binatang celaka yang sangat dibenci oleh para
penghuni pasar. Dalam novel itu diceritakan, setelah itu kucing sial itu pun
dimasukan ke dalam karung semen untuk kemudian pertualangan pun dimulai.
Novel Angin Musim karya Mahbub Djunaidi ini
membuat saya teringat dengan novel Animal Farm karya George Orwell. Jika
Angin Musim tokohnya hanya seekor binatang saja, yaitu: kucing. Dalam Animal
Farm bisa dikatakan tokohnya binatang semua. Animal Farm berkisah
tentang para binatang yang hidup dalam sebuah Peternakan Hewan, yang semua
binatang itu ingin melakukan revolusi bagi masa depan yang lebih baik, tapi
sayangnya harus berakhir tragis dalam kendali kaum mereka sendiri. Animal
Farm adalah fabel satir yang ditulis untuk mencemooh komunisme, yang dimana
sebuah masyarakat hidup di bawah satu komando sang diktator yang semula
dianggap sebagai pahlawan.
Dan saya tidak keliru. Ternyata Mahbub Djunaidi memang
penggemar George Orwell, seorang sastrawan satiris yang terkenal di dunia.
Bahkan, Mahbub Djunaidi pun pernah menerjemahkan Animal Farm karya
George Orwell ini ke dalam bahasa Indonesia, yang judulnya menjadi: Binatangisme.
Selain itu, ia juga menerjemahkan karya sastra asing lainnya ke dalam bahasa
Indonesia, seperti: Di Kaki Langit Gunung Sinai (karya Mohamed Heikal,
1979), Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (karya Michael H.
Hart, 1982), 80 Hari Berkeliling Dunia (karya Jules Verne, 1983), Cakar-Cakar
Irving (karya Art Buchwald, 1982), Lawrence dari Arabia (karya
Philiph Knightly, 1982), dan lain-lain.
Selain menjadi sastrawan, sebenarnya Mahbub Djunaidi
adalah seorang jurnalis. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi harian Duta
Masyarakat (1960-1970), wakil pimpinan Kantor Berita Antara, wakil ketua
PWI Pusat (1963-1964), ketua PWI Pusat (1965-1970), anggota Dewan Pers
(1971-1978), dan ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (1971-1979). Bahkan, pada
tahun 1978-1979 ia sempat ditahan oleh rezim Orde Baru lantaran
tulisan-tulisannya yang tajam. Bahkan, ternyata Mahbub
Djunaidi pun aktif di dalam dunia politik, dan pernah menjadi anggota DPR/MPR
RI (1960-1970).
Sebenarnya Mahbub Djunaidi juga menulis cerpen, tapi
sayangnya hingga sekarang cerpen-cerpennya itu belum pernah ada yang dibukukan.
Ia juga menerbitkan dua buku kumpulan esai mengenai jurnalistik: Kolom Demi
Kolom (1986), dan Humor Jurnalistik (1986).
Fiiiuuuhhh. Sampai di sini saya menghela nafas panjang.
Ternyata lelaki itu memang sungguh luar biasa. Seandainya saya memiliki mesin
waktu, saya ingin sekali kembali ke masa lampau agar bisa berjumpa dengan
dirinya, untuk kemudian berkata kepadanya: “Ajarkan saya agar bisa menjadi
orang hebat seperti anda”. Ya, saya ingin belajar banyak dari Mahbub Djunaidi.
Mencatat
Parodi di Pintu Sejarah, Korrie
Layun Rampan, Majalah Sastra Horison/Kakilangit 118/Oktober 2006. hlm 8
Sastrawan,
Jurnalis, Sekaligus Politikus,
Korrie Layun Rampan, Majalah Horison, Kakilangit 118/Oktober 2006, hal 10.
0 komentar:
Posting Komentar