IP, Pemimpin yang Menulis
Minggu, 09/10/2011
Oleh : H. Sutan Zaili Asril
Wartawan Senior
Padang Ekspres • Minggu, 09/10/2011
12:24 WIB •
Hanya sedikit pemimpin
(presiden/menteri, gubernur/bupati/walikota/pejabat publik, politisi/pengurus
partai politik, dan tokoh/pengurus organisasi kemasyarakatan) yang mampu
menuliskan pikiran/pemikiran mereka.
Kini, akademisi/intelektual dengan
sederet gelar akademis formal (master, philosophy of doctor, dan profesor) pun
tak mampu menuliskan pikiran/pemikirannya — bahkan mereka pula seperti pejabat
publik hanya pandai menyatakan/berpidato atau politisi/tokoh organisasi
kemasyarakatan hanya pandai bicara. Dari sedikit itu, Gubernur Sumbar Irwan
Prayitno (IP) adalah seorang pemimpin yang mampu menuliskan
pikiran/pemikirannya — walau hari-hari/waktunya habis untuk atau selalu
tersandera rutinitas formal tugas.
Menulis adalah salah satu tradisi intelektual yang baik — masalahnya tak
otomatis semua mereka yang memiliki formalitas intelektual seperti sederet
gelar akademis mampu menuliskan pikiran/pemikirannya. Lalu, tidak terbayangkan,
ada berapa banyak beliau yang bergelar strata-2, strata-3, dan bahkan profesor,
kita anggap tak ada pikiran/pemikiranya hanya karena tak pernah menulis, dan
atau jarang menulis, dan atau tak mampu menuliskan pikiran/pemikirannya.
Kebanyakan dari kita memang lebih terbiasa menggunakan media oral/bicara
seperti politisi/pejabat pemerintah dari menuliskannya — bahkan walaupun mereka
seorang yang bergelar profesor, doktor dan master sekalipun!
Menuliskan pikiran/pemikiran memiliki beberapa keistimewaan: keterlatihan
menuangkan pikiran/pemikiran yang tersusun dalam tulisan merupakan salah satu
dari keunggulan intelektual. Akan sangat berbeda hal bilamana mereka yang
secara formalitas adalah seorang akademisi dan atau pemimpin yang lebih
terlatih berbicara/berpidato. Yang lebih baik, bilamana mampu keduanya: mampu
menyampaikan pikiran/pemikiran melalui berpidato/berbicara, dan mampu
menuliskannya. Yang lebih banyak, mereka yang mampu berbicara — walaupun
berlepotan, dan membacakan apa-apa yang akan dipidatokannya yang dituliskan
orang lain untuknya. Yang menyedihkan, ada pejabat yang memandang dirinya
seorang intelektual dan menampilkan tulisan — ditulis by line atas namanya —
yang dibuatkan orang suruhan atau stafnya untuknya.
Karena itu, kita akan sangat mengapresiasi dan menghargai kalau ada pemimpin
yang memiliki salah satu dari tradisi intelektual: menuliskan pikiran atau
pemikiran. Karena melalui tulisan itu kita dapat membaca, mengetahui, dan
memahami pikiran dan jalan pemikiran, dan riwayat pemikirannya — bahkan
corak-warna pemikirannya. Ada berapa banyak pemimpin publik, tokoh organiasi
kemasyarakatan, politisi atau pengurus partai, bahkan pejabat publik, yang
betapa pun amat sangat sibuk disiksa rutinitas tugas formalitasnya, toh beliau
masih menuliskan pikiran/pemikirannya.
Untuk Indonesia, kita mengenal banyak sekali para pemimpin/politisi/pejabat
yang menulis. Sebutlah hampir semua tokoh pergerakan/pejuang kemerdekaan
Indonesia yang mampu menulis — menulis buku dan pembukuan karya
tulis/artikel/catatannya. Sebutlah saja Ibrahim Dt Tan Malaka, Agus Salim, Bung
Karno, Bung Hatta, Syahrir, Yamin, dan sederet nama lain. Pemimpin Persis,
Mohammad Natsir, yang kemudian jadi politisi — jadi menteri/perdana menteri —
adalah seorang penulis ulung. Hampir semua pemimpin/tokoh/pengurus organisasi
kemasyarakatan — sebut saja di antaranya Saifuddin Zuhri atau Haji Abdul Karim
Abarullah (Hamka) — adalah di antara yang jadi penulis yang hebat. Kalau
politisi Mahbub Djunaidi, adalah seorang wartawan yang juga politisi dan
dikenal sebagai kolomnis hebat.
Kalau di dunia, sebutlah saja Presiden Anwar el-Sadat yang mempunyai kolom
tetap di suratkabar al-Ahram. Kumpulan tulisannya, antara lain, dikenal di
Indonesia buku Kemarau Kemarahan. Di antaranya, kolom Sadat bercerita bagaimana
nasib Mesir setelah mampu menghancurkan benteng Barlev (1973) dan pemerintah,
tentara, dan rakyat Mesir merayakan kemenangan itu, Sadat dengan para menteri
dan para pimpinan militernya naik dalam satu pesawat dan terbang di atas Sinai,
diketahui intelijen Israel sampai negara Yahudi itu melancarkan serangan sampai
ke Iskandariyah. Kenapa tentara Israel mendadak mampu menjangkau wilayah Mesir
sampai sejauh Iskandariyah? Rupanya, karena perintah Sadat dari atas pesawat,
tidak boleh ada satu pun senjata Mesir yang boleh menyalak. Kalau ada satu saja
bedil atau meriam Mesir ditembakkan, maka meriam Israel akan dengan mudah
merontokkan peawat di mana Awar Sadat, para menteri, dan para jenderalnya
sedang terbang.
Mantan Presiden AS yang kesohor, John F Kennedy dan Franklin D Roosevelt,
misalnya, adalah juga penulis. Sebetulnya tidak aneh, karena sebelum menjadi
presiden, keduanya pernah jadi wartawan suratkabar The Harvard Crimson,
suratkabar mahasiswa Universitas Harvard (diterbitkan pertama kali 1873),
harian yang terbit di Cambridge Massachusetts/dikelola sepenuhnya oleh
mahasiswa tingkat sarjana Harvard College. Begitu halnya dengan mantan perdana menteri
(PM) Inggris Raya yang kesohor dan fenomenal, Wiston Leonard Spencer Churchill,
yang sebelum jadi PM pernah jadi jurnalis dan penulis memoar yang berpengaruh.
Churchill penulis yang produktif. Ia
menerima Hadiah Nobel Sastra (1953), dan dianugerahi hadiah untuk penguasaan
deskripsi sejarah, biografi, dan untuk pidato cemerlang dalam mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan yang mulia. Ia menulis buku The Story of Malakand Field
(1898) dan Perang Sungai (1899). Pernah bekerja sebagai koresponden perang bagi
Morning Post. Karena melaporkan Perang Boer Afrika Selatan ia ditawan, dan
membuat berita utama saat melarikan diri. Sekembalinya ke Inggris, ia menulis
tentang pengalamannya itu dalam buku London ke Ladysmith (1900).
Yang mutakhir, mantan Presiden Indonesia, KH Abdurrahman Wahid seorang penulis
yang hebat. Presiden Jenderal TNI Purn Dr Susilo Bambang Yudhoyono pun seorang
penulis — ia pernah menulis artikel tentang Islam moderat yang dimuat di The
International Herald Tribune. SBY — begitu kita akrab menyebut namanya, kata
ulama Qatar Yusuf Qardawi, adalah presiden dari negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia, yang sebaiknya menjadi juru bicara kaum muslimin sedunia
kepada Barat. Berbicara secara terbuka, moderat, dan cerdas, bahwa Islam tidak
seperti dikenal/dipahami sebagian pemimpin/masyarakat nonmuslim dunia. Islam
agama damai dan yang cinta perdamaian. Selain menulis artikel, SBY juga seorang
penyair yang menulis puisi dan seorang pengubah/pengarang lirik lagu.
Begitulah ketika kita menemukan dan mencermati Gubernur Sumatera Barat Prof Dr
H Irwan Prayitno Psi MSc — selanjutnya kita sebut dengan singkatan IP, sebagai
seorang penulis yang benar-benar penulis, bukan pejabat publik yang karya
tulisnya dituliskan orang lain dan atau stafnya yang ditampilkan di media
sebagai by line atas nama pejabat publik itu. Termasuk penulis yang produktif
untuk ukuran seorang pejabat publik yang sangat tersandera oleh rutinitas kerja
sebagai gubernur.
Sesungguhnya, Cucu Magek Dirih sudah mengetahui IP seorang penulis yang rajin
dan produktif. Termasuk tokoh/cendekiawan/intelektual/politisi yang menjadikan
menulis sebagai sarana bekerjanya yang efektif. Katakan, ketika IP menjadi
calon gubernur Sumbar periode 2005-2010 yang saat itu berpasangan dengan
Brigjen Purn Ikasuma Hamid. IP berkampanye bekerjasama Harian Pagi Padang
Ekspres — di antaranya dalam bentuk ia menuliskan materi kampanyenya sendiri.
Sayang pada saat itu pasangan IP/Ikasuma Hamid kalah, dan cagub Gamawan
Fauzi/Marlis Rahman yang memenangkan pemilihan umum kepala daerah gubernur
Sumbar.
Setelah kembali ke Senayan/menjadi anggota DPR-RI Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (F-PKS), Alhamdulillah, Cucu Magek Dirih tetap berkomunikasi baik
dengan IP, dan ia memberikan beberapa buku karangannya sendiri yang menambah
jajaran perpustakaan pribadi Cucu Magek Dirih. Setelah akhirnya ia jadi
gubernur Sumatera Barat — yang berpasangan dengan Drs Muslim Kasim MM, Ak, IP
memang memasuki ruang kerja pejabat publik yang jauh lebih menguras
waktu/energinya — paling tidak dibandingkan kalau ia jadi anggota DPR-RI. Lalu,
kita, rupanya, masih tetap dapat mendapatkan seorang IP yang memelihara
semangat/mencuri kesempatan tetap menulis. IP menulis menunjang posisi,
peranan, dan pelaksanaan tugas sebagai gubernur Sumbar— secara tak pas Cucu
Magek Dirih menganalogi IP dengan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara
(PLN) Dahlan Iskan (DIS) yang tetap menulis/sekaligus jadi pejabat publik
relation (PR) hebat bagi PLN sendiri.
Secara pribadi — tentu sangat subyektif, sosok/pribadi dan moralitas/integritas
serta corak/warna pikiran dan jalan pemikiran seorang IP dapat ditemukan di
dalam setiap tulisannya. IP menulis relatif terlalu/sangat jujur, sangat lugu,
dan juga jernih. Sangat tenang dan sangat lembut, dan tidak sama sekali
menyerang dan atau menyalahkan sesiapa — tak pula bermanis-manis dan mengambil
hati atau pencitraan. Dalam beberapa hal justru menggemaskan. Mungkin, walau
juga seorang surau, Cucu Magek Dirih termasuk yang relatif bersentuhan/ditulari
macam ragam yang membuatnya sangat berwarna-warni, sangat dinamis, terlalu
berharap/menuntut, yang seringkali merasa sesuatu kurang garam dan atau kurang
pedas. And what ever, kalau kita harus jujur, sesungguhnya, kita mengetahui,
memahami, dan menerima IP secara lebih utuh antara lain melalui tulisannya.
Tak bermaksud memuji dan terpesona, IP menulis — betapa pun ia terperangkap
dalam rutinitas sebagai seorang pejabat publik — tetaplah menjadi sebuah
kelebihan dan keunggulan yang harus mampu kita apresiasi. Paling tidak dalam
pencermatan seorang Cucu Magek Dirih, mengapresiasi/menghargai/menghormati IP
antara lain karena ia menuliskan pikiran/pemikirannya — apalagi
tulisan-tulisannya banyak berhubungan dan atau menunjang kelancaran posisi
keberadaan, peranan, dan tugasnya sebagai pejabat publik. ***
H. Sutan Zaili Asril
[ Red/Redaksi_ILS ]
Baca: http://irwanprayitno.info/berita/aktual/1318153674-ip-pemimpin-menulis.htm
0 komentar:
Posting Komentar